LOVE ME PART 12 [END]

Shinee Fanfiction

LOVE ME 12 [END]

Author : Azmi

Main cast :

  • Kim Jonghyun
  • Choi Yumi

Other cast :

  • Lee Taemin
  • Shin Sekyung
  • Shim Min Ah
  • Choi Siwon
  • Choi Minho
  • Choi Minhwan (FT Island)
  • Lee Hongki (FT Island)
  • Kim Tae Yeon

Length : Squel

Genre : Sad, Romance, Married life, Friendship

Rating : PG 15

A/N : semoga ada yang masih ingat sama Fanfic ini. Dan ini akan sangat panjang. Chapter sebelumnya bisa dicari di Page Library.

 Part 11

STORY

“Meskipun kau menolak, takdir tetap akan berjalan, baik kau sendiri yang menjemputnya atau seseorang yang akan mengantarkannya tepat di depan matamu. Dan kau tahu, aku adalah takdirmu”

“Baiklah, nanti jam 6 tolong ingatkan aku lagi.” Jonghyun menutup sambungan telepon yang terhubung dengan sekretarisnya. Kembali memandang ke samping dimana ruang kerjanya didominasi oleh kaca hingga ia bisa menikmati pemandangan kota.

Hujan salju tampak turun menyelimuti Seoul, ini adalah musim dingin ke delapan yang dilaluinya setelah hari itu. Jonghyun mengangkat tangannya, ia sapukan ujung jari telunjuknya menggores kaca yang berembun hingga samar terlihat sebuah kata tertulis di sana. Jonghyun tersenyum miris.

Ruang kerja Jonghyun tiba-tiba terbuka. Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi tampak berjalan mendekat. Di tangan kanannya menenteng sebuah kotak yang Jonghyun yakini adalah bekal makan siangnya.

“Kudengar setelah ini sampai jam 6 kau tak ada kesibukan, istirahatlah Jonghyun~ah, bagaimana kau bisa memperlakukan tubuhmu seperti itu, tidur 2 jam sehari sangat tak manusiawi. Eomma tak ingin kau sakit.” Wanita itu membuka kotaknya dan menata di atas meja yang disediakan di ruang kerja Jonghyun.

Jonghyun melangkah menuju sofa kemudian duduk di samping Ibunya, menaruh kepalanya di pundak wanita yang sangat disayanginya itu, “Ternyata Eomma bertambah cerewet seiring dengan bertambahnya usia, itu tak baik Eomma,” Jonghyun memejamkan matanya sambil tersenyum tipis.

Eomma serius Jonghyun~ah…”

Eomma akan semakin cepat tua jika terlalu serius, lagi pula tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Jonghyun mendapatkan satu jitakan kecil dari Ibunya hingga membuatnya sontak mengangkat kepala-memandang geram, “yaa! Mengapa memukulku?”

“Jangan berteriak pada Ibumu!” bentak Eomma, “lagi pula apanya yang tak perlu dikawatirkan? Mau sampai kapan kau seperti ini? Kau mau membunuh dirimu sendiri perlahan-lahan huh? Bunuh dulu Eomma sekarang juga kalau begitu!”

Jonghyun menghela nafas, menegakkan tubuh menghadap ibunya dengan tatapan yang seakan memperlihatkan ia baik-baik saja, “Eomma jangan berlebihan, sungguh aku baik-baik saja, lagi pula setalah jam makan siang berakhir aku akan mengunjungi panti dan setelah itu harus mengecek keadaan pabrik yang di daerah Gangwon. Lebih baik Eomma memikirkan kesehatan Eomma sendiri, bukankah akhir-akhir ini Eomma sering sakit hm? Kumohon jangan pikirkan apapun.”

Jonghyun membawa Ibunya ke dalam pelukan, ia tahu Ibunya sangat khawatir, mengingat delapan tahun belakangan ini hampir seluruh waktunya ia gunakan untuk bekerja. Jonghyun tahu itu sangat tak baik apa lagi membuat Ibunya cemas, ia hanya tak mau kalau ia sedang tak melakukan apa pun hatinya akan kembali mengingat Yumi. Bukannya ia tak mau mengingat wanita itu lagi, bahkan hatinya sudah sepenuhnya terikat pada wanita itu, hanya saja ia tak mau lagi dihantui rasa bersalah yang membuatnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia sudah berusaha mencari wanita itu, tapi sampai detik ini ujung rambut wanita itu pun tak pernah ia lihat. Jonghyun sangat merindukannya, benar-benar merindukan wanita itu hingga membuatnya merasa tercekik jika sedikit saja tak melakukan aktivitas.

Eomma kesini untuk membawakanku makan kan?” Jonghyun melepas pelukannya memandangi ibunya dengan sayang yang hanya dibalas anggukan kepala dari wanita paruh baya itu. “Suapi~” rengek Jonghyun.

Akhirnya wanita itu tersenyum, “dasar!”

“Ayo suapi aku Eomma~” Jonghyun kembali merengek dan mengapitkan lengannya pada lengan Eomma.

Wanita itu menggusak puncuk kepala Jonghyun dan tersenyum miris, “Anakku yang malang~”

****

Cafe Latte setengah hangat itu masih memenuhi cangkir, hiruk pikuk kendaraan di balik jendela kaca membuat Yumi urung untuk mengalihkan perhatiannya—bahkan hanya untuk sekedar menyeruput kopinya.

Di New York juga sedang musim salju—juga tahun ke delapan setelah ia meninggalkan Seoul. Rasanya sangat berbeda. Kau akan merasakannya jika sesuatu yang bahkan telah kau lewati bertahun-tahun masih terasa asing untukmu. Walau jatuh dari langit yang sama, namun tak seperti salju di Seoul. Entah mengapa bayangan salju yang seakan terasa hangat menyeruak dalam hati Yumi ketika ia mengingat musim salju beberapa tahun yang lalu di Seoul.

Ketika ia masih bisa mendengar keluh orang itu tentang bagaimana dinginnya suhu yang mencapai nol derajat, tentang bagaimana orang itu meracau karena jalanan yang licin akibat es yang membekukan jalan. Semua itu berputar begitu saja di otak Yumi. Masih ingatkah ia pada Yumi?

“Mau sampai kapan kau melamun seperti itu? Kopimu bisa menangis karena kau acuhkan.” Yumi menoleh, menemukan Minho dengan tas yang semula tersampir asal di pundaknya tiba-tiba sudah berada di meja tepat di depan Yumi dengan menimbulkan bunyi gebrakan yang cukup membuat orang terlonjak—setidaknya bagi Yumi.

Minho mengambil tempat di samping Yumi, mengarahkan pandangannya pada jalanan di depan mereka, tak ada yang istimewa menurutnya, tapi mengapa Yumi begitu larut dengan pemandangan biasa itu?

“Kau tak sedang memikirkan pria pirang kemarin kan Mi~ya?” Minho memandang penuh selidik pada Yumi, mengingat peristiwa kemarin saat ia sedang jalan dengan wanita itu untuk menikmati akhir pekan di Barneys New York yang berlokasi di Mdison Avenue, tiba-tiba pria yang Minho akui cukup memukau atau apalah itu, menyapa Yumi dan mengajak wanita itu berkenalan. Minho bahkan sempat mendapati meraka bertukar nomor telpon.

“Hey, berhenti mengungkit-ungkit hal itu, kau sudah menyinggungnya 15 kali sejak bangun tidur, kau tak lelah? Lagi pula kami hanya kebetulan saja bertemu dan berhenti menatapku seperti itu!”

Akhirnya Yumi menyeruput kopinya untuk sejenak merilekskan diri. Kafe hari ini sedang sepi hingga ia tak memiliki pekerjaan hanya sekedar menghabiskan waktu luangnya yang akhir-akhir ini cukup banyak.

“Huh~ berikan ponselmu.” Minho menadahkan tangannya membuat Yumi mengernyitkan mata walau pada akhirnya wanita itu tetap memberikan ponselnya.

“Aku akan menghapus nomor pria penggoda itu dan ingat jangan sembarangan berkenalan dengan orang asing, pria NY itu sangat mengerikan!”

Ponsel itu sudah kembali ke tangan Yumi, tapi gadis itu sejenak melongo, bagaimana Minho masih seperti ini, memperlakukannya dengan begitu posesif bahkan pacarnya saja tak ia perhatikan hingga seperti ini.

“Ya! Apa-apaan kau ini, lagi pula aku tak akan berkenalan jika bukan dengan orang asing, menurutmu apa aku harus selalu berkenalan denganmu yang notabene sudah aku kenal di luar kepala?” Yumi mendengus frustasi.

“Tak masalah jika itu bisa menghentikanmu berkenalan dengan pria-pria liar di luar sana.” Sahut Minho santai sembari berlalu meninggalkan Yumi.

“Yaa. Jangan berbicara seolah-olah aku ini wanita yang suka berkenalan dengan sembarang orang!”

Minho tak menggubris teriakan Yumi, ia tetap melangkah meninggalkan kafe dengan santai, “Huh~ kuliah hari ini benar-benar melelahkan, gadis-gadis cerewet itu sungguh menyusahkan. Lebih baik aku menjemput Minhwanie sekarang.”

****

Jonghyun memarkirkan porche hitamnya setelah melewati gerbang kayu bercat putih itu tepat di depan undakan pintu utama. Ia keluar dari mobilnya kemudian menuju bagasi untuk mengambil beberapa paper bag yang akan ia berikan pada anak-anaknya.

Jonghyun baru akan membuka pintu utama panti asuhan ketika lebih dulu pintu itu terjerembab terbuka, hampir saja Jonghyun terjengkang ke balakang karena kaget.

Appa!” gadis kecil dengan rambut diikat kuda menyembulkan tubuh mungilnya.

“Astaga Yongie kau mau membuat Appa terkena serangan jantung mendadak?” Jonghyun mengelus dadanya yang dibalas dengan cengiran oleh Yong-Sang hingga menampakkan dua gigi kelinci gadis kecil itu.

Anio, Yong-Sang sangat sayang pada Appa, mana mungkin Yong-Sang tega membuat Appa kena serangan jantung. Yong-Sang kagen sekali pada Appa, makanya Yong-Sang sangat bersemangat,” Jawab Yong-Sang sambil mengibaskan tangan, “sudah dua minggu Appa tak berkunjung~” tambahnya sedih.

Jonghyun tersenyum kemudian berjongkok di depan gadis kecil itu, “maafkan Appa, akhir-akhir ini Appa sangat sibuk. Yong-Sang tidak nakal kan?”

“Tentu saja tidak!” jawab gadis kecil itu cepat, “Yong-Sang tidak pernah nakal.”

“Anak pintar~” Jonghyun menggusak puncak kepala gadis kecil itu.

Yong-Sang menarik tangan Jonghyun dari puncak kepalanya dan menyeret pria itu masuk lebih dalam. Gadis kecil itu tampak begitu bersemangat. Rambutnya yang panjang melambai seiring dengan pergerakan riang kaki kecilnya, Jonghyun tersenyum tipis. Jika saja waktu itu ia tak bertindak bodoh mungkin anaknya akan sebesar Yong-Sang saat ini.

Appa tahu tidak, kemarin ada Eoni baru lho~” gadis itu melambatkan langkahnya dan mendongak menatap Jonghyun.

“Benarkah? Appa tak tahu, apa dia baik pada Yong-Sang?”

Yong-Sang menghentikan langkahnya dan Jonghyun berjongkok menyamakan tingginya. Raut wajah Yong-sang berubah sendu dengan kepala tertunduk.

Eoni belum bicara apa pun sejak datang Appa, dia mengurung dirinya di ruang musik dan tak mau bertemu dengan siapa pun. Yong-Sang melihat raut sedih di wajahnya. Appa bisa tidak menemuinya? Sepertinya dia sedang dalam masalah yang rumit. Appa kan super hiro, pasti bisa membantu Eoni….”

Jonghyun tersenyum tipis. Yong-Sang begitu lugu, ia tak pernah bisa melihat orang lain bersedih sama seperti gadis yang sampai saat ini masih melekat di ingatannya tanpa bisa ia hilangkan.

“Benarkah, apakah Appa boleh menemuinya? Yongie mau mengantarkan Appa?”

Yong-Sang semakin menundukkan kepalanya, “Eoni tak mau bertemu Yongie, dia selalu menatap Yongie dengan tajam, Appa kesana sendiri saja, Yongie akan melihat dari luar.”

“Baiklah kalau Yong-Sang tak mau ikut, Kajja kita buat Eoni mau bertemu dan bicara dengan Yong-sang kita yang baik hati ini….”

****

Appa Fighting!” Jonghyun melempar senyumnya membalas Yong-Sang yang menyemangatinya dengan kepalan tangan di udara sebelum membuka pintu ruang musik.

Jonghyun membuka pintu ruang musik perlahan kemudian mengedarkan pandangannya dan menemukan seorang gadis tengah berjongkok di bawah jendela ruang musik membelakangi Jonghyun. Gadis itu tampak tak menyadari kehadiran Jonghyun.

Jonghyun berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakang gadis yang masih tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Tak ada gerakan yang mampu ditangkap Jonghyun. Jonghyun mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak kecil itu sebelum sebuah suara menghentikannya.

“Tidak kah kau merasa cuaca hari ini sangat cerah?” suara itu terdengar serak menusuk gendang telinga Jonghyun.

Ia terpaku di tempatnya dengan tangan yang masih mengambang di udara. Jonghyun pernah mendengar jenis suara dengan nada yang sama persis seperti itu. Nada yang seolah menggambarkan pemiliknya yang berusaha keras untuk tetap terdengar ceria dan berfikir semua baik-baik saja padahal hal sebaliknya tengah terjadi, “dia akan datang menjemputku dan semua akan kembali seperti semula, benarkan?”

Jonghyun menarik tangannya dan menunggu gadis itu untuk melanjutkan ucapannya. Punggung gadis itu mengingatkan Jonghyun pada seseorang sepuluh tahun yang lalu. Gadis yang berjongkok dengan punggung yang seolah melengkung ke depan karena tangannya yang memeluk lutut mencari perlindungan.

Selang beberapa waktu hanya keheningan yang tercipta, Jonghyun perlahan duduk di samping gadis itu dan ia nampak tertegun melihat bunga iris di depannya. Biru, sama seperti bunga pemberian Yumi waktu itu.

“Kau sedang apa?” Jonghyun bertanya hati-hati. Gadis itu menoleh dan memberikan senyum pada Jonghyun tanpa memberiakan jawaban apapun.

****

Nunaaa…” Yumi hampir menjatuhkan notebook dari pangkuannya ketika sepasang lengan gempal memeluk lehernya dengan iringan teriakkan yang memekakak telinga.

Yumi menghela nafas. Apakah semua orang di rumah ini begitu berbakat untuk membuatnya jantungan?

Yumi menutup notebook-nya kemudian menoleh dan mendapati cengiran—yang kata orang-orang imut itu—terpasang di wajah Minhwan. Ingin sekali Yumi meremasnya karena gemas.

Nunaaa, aku punya berita gembira. Kau harus menjadi orang pertama yang tau.” Minhwan masih bergelayut manja ketika mengatakan maksudnya tanpa menunggu Yumi menetralisir detak jantungnya. Remaja tiga belas tahun yang hyperactive itu begitu bersemangat.

“Seharusnya kau duduk dengan baik dulu, baru mengatakan berita gembira itu Minari, agar nuna bisa mendengarnya dengan baik,” Yumi melepas lilitan tangan di lehernya kemudian menarik Minhwan memutari sofa untuk duduk di sebelahnya.

Minhwan tampak tak terganggu dengan tindakan Yumi, ia tetap dengan senyuman lebarnya yang memperlihatkan betapa ia tengah bahagia. Tangannya berganti menggenggam telapak tangan Yumi.

“FT ISLAND akan tampil untuk pertamakalinya di TV, Nuna harus bangga padaku. Aku akan memukul drum dengan baik dan penuh semangat, kau harus jadi penonton di barisan pertama.”

Yumi tersenyum bangga. Minhwan benar-benar membuktikan omongannya dulu bahwa ia akan menjadi pemain band yang terkenal. Yumi ingat delapan tahun yang lalu ketika ia dan keluarganya pindah dengan membawa Hongki—anak yang Yumi temukan di rumah sakit—untuk menemani Minhwan karena Minho yang sampai saat ini begitu dendam padanya karena menganggap Yumi menganaktirikan dirinya. Hongki yang kebetulan mempunyai suara yang bagus bisa langsung akrab dengan Minhwan kemudian mereka membuat Band.

Belum sempat Yumi mengucapkan selamat pada Minhwan sebuah kepala tiba-tiba saja menyela diantara mereka, membuat keduanya terpekik kaget—kedua kalinya bagi Yumi.

“Astaga Minho~ nuna akan benar-benar mati muda jika kau dan adikmu ini mengagetiku sekali lagi. Tak bisakah kalian muncul dengan lebih manusiawi?” Yumi mengelus dada.

“Jangan protes dulu Mi~ya, aku ada kabar baik untukmu.”

“Apakah semua kabar baik harus selalu datang seperti bumerang yang datang tiba-tiba?” sela Yumi tak minat.

Hyung, kau membuat Nuna marah~”

“Diam kau bantet, aku tak sedang bicara padamu!” potong Minho pada protes Minhwan membuat bocah itu manyun seketika. Kenapa kakak kandungnya ini selalu kasar padanya, apa sebenarnya kesalahan yang Minhwan lakukan hingga membuat Minho begitu membencinya.

“Dengarkan dulu Mi~ya, kau akan bersorak jika mendengar berita besar yang kubawa kali ini.”

“Baiklah, cepat katakan. Aku akan mendengarkanya…”

“Novelmu yang sebulan lalu dirilis di Venesia menjadi best seller, aku mendengarnya dari Taemin Hyung. Dan kau tahu?” jeda sejenak. Sengaja Minho ingin membuat Yumi penasaran, lihat bagaimana wajah itu terkejut, “kau diudang dalam acara bedah buku bersama beberapa penulis novel dunia yang terkenal, apa ini bukan berita besar menurutmu?”

Yumi masih terdiam dengan mata yang belum berkedip menatap Minho. Benarkah apa yang dikatakan Minho? Novelnya, novel perdananya dan langsung menjadi best seller. Apa Yumi tak sedang bermimpi? Bagaimana mungkin?

“Kau harus berterimakasih pada Taemin Hyung…”

Nunaaa Hebat!!” pekik Minhwan.

****

I close my eyes in this sleepless night

And recollect my thoughts of you

I hate myself, who knew nothing

I turn on the lights and look around my room

My eyes come to a halt as I look at the dimly lit spot

Where I put that birthday present I didn’t throw away

and everything of you

Cause you were my sun, the moon

You were my everything and

Everything in my room seems to miss you

If I get tired putting myself in harm’s way to find you

and forget for a moment

our hidden memories still linger

cause you’re still in my room

Wandering the sea of life, all the lost dreams

are in the corners of my desk drawers

you were hidden within them

A picture of you I found in a box, under a layer of dust

A love letter filled with my young heart

and everything of you

Cause you were my sun, the moon

You were my everything and

Everything in my room seems to miss you

If I get tired putting myself in harms way to find you

and forget for a moment

our hidden memories still linger

cause you’re still in my room

 

Even if I throw it away, again and again

I want to call you

and see you smiling in front of me

I want to keep you right here

Cause you were my sun, the moon

You were my everything and

Everything in my room seems to miss you

If I get tired putting myself in harms way to find you

and forget for a moment

our hidden memories still linger

cause you’re still in my room

 

JONGHYUN

Dentingan piano sudah berakhir. Aku menoleh ke samping dan kulihat Ji-Eun manatapku tanpa berkedip. Tangannya terangkat kemudian mengusap pipiku yang basah hingga aku tahu baru saja menangis tanpa kusadari.

“Apa kau sedang merindukan Yumi, Jonghyun~Hyung?.”

Taemin…..

****

Aku membenarkan letak scraft yang melilit leherku. Suasana bandara Marco Polo tampak tenang, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Venice. Pukul delapan nanti aku sudah harus sampai di Venice Art Center Hall. Masih ada dua jam lagi sebelum acara bedah buku terbesar tahun ini diadakan, novelku memang tak masuk ke dalam agenda tapi tersangkut dalam daftar undangan saja sudah sangat membahagiakan. Taemin memang hebat, aku tak tahu dari mana ia bisa membuat novelku dibaca oleh mereka. Lagi pula kurasa tak ada yang istimewa dengan novelku kecuali ceritanya yang memang nyata.

Taemin bilang Ia akan menjemputku di bandara. Tapi sudah setengah jam berlalu dan aku masih menunggunya di Loby tanpa melakukan apa pun. Sebenarnya perutku tengah berontak lapar, tapi aku malas untuk beranjak ke restoran maupun kafe bandara. Aku hanya ingin cepat sampai hotel dan mengistirahatkan punggung lelahku. Aku sudah mencoba menghubungi ponselnya, namun nihil. Polselnya tak akif dari sebelum keberangkatanku dari New York.

****

JONGHYUN

Aku melihatnya. Yumi, dengan mantel tebal berwarna putih gading yang membungkus seluruh tubuh atasnya. Rambutnya jauh lebih pendek dari sejak delapan tahun lalu aku melihatnya.

Jantungku berdenyut. Seperti sesuatu membuncah dari dalam sana. Aku ingin berlari dan memeluknya dengan erat. Isteriku yang dulu kusiakan, kemudian pergi dan kurindukan selama delapan tahun nyaris seperti orang mati. Seluruh pori kulitku berteriak untuk berlari menerjang gadis itu.

Dia masih sama. Cantik dan menyejukkan. Caranya berkedip saat gelisah. Bibir tipisnya yang terkatup rapat tampak khawatir. Ya Tuhan aku tak bisa menahan diriku lagi.

Hampir saja kakiku melangkah sebelum sebuah tangan menggenggam bahuku. Aku menoleh dan mendapati tatapan Taemin yang seolah mengatakan belum saatnya aku menemui gadisku. Kemudian dengan sangat terpaksa aku melangkah menjauhinya.

Masih kuingat ketika dua hari yang lalu orang yang tak pernah kuduga datang menemuiku secara tiba-tiba, menanyakan apakah aku merindukan isteriku. Tentu saja aku sangat merindukannya. Taemin bilang seandainya waktu masih bisa diulur lebih lama lagi, tapi Ia tak bisa untuk membiarkanku terlarut dalam kesedihan tak berujung. Dalam hal ini aku sangat berterimakasih padanya hingga rasanya aku ingin mengucapkannya ribuan kali.

Taemin memberitahuku tentang Yumi yang selama ini ada di New York. Hidup dengan baik dan bahagia. Setidaknya itu yang terlihat di luar, Taemin tak bisa memastikan apakah sama dengan yang ada di dalam hatinya. Kemudian aku mendesaknya untuk segera mempertemukan kami. Dan jadilah aku di sini. Menghadiri undangan yang diberikan Taemin kepadaku dalam acara bedah buku Internasional. Aku juga tak tahu bagaimana Taemin bisa mendapatkan undangan ini.

****

“Anne, apa kau yakin dengan keputusanmu?”

“Ini yang terbaik.”

“Apa kau tidak akan menyesal? Kalau kau ingin menangis, menangislah.”

“Tentu saja aku ingin menangis”

“Perasaanmu pasti sangat berantakan.”

“Kau benar Lyn.”

“Aku tahu kau pasti merasa kecewa, terpuruk, jatuh.”

“Tidak. Tidak sebanyak itu. Aku hanya merasakan satu.”

“Apa itu?”

“Mati.”

“Kau masih memilikiku Anne. Kau harus ingat itu.”

No matter how tightly you hold someone, you still need to let go when the time comes.

Aku belum pernah menanyakan apa yang dirasakannya padaku. Ketika kami tinggal bersama aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu yang dirasakan gadisku seburuk itu. Hatinya terluka sangat dalam karenaku.

Tidak. Bahkan airmata yang kukeluarkan hingga keringpun tak akan bisa membayar apa yang dirasakannya.

Novel dengan tebal dua ratus halaman lebih itu sudah hampir habis kubaca. Aku membelinya ketika menghadiri bedah buku semalam. Dan sekarang, selama dua jam terakhir aku sibuk menyalahkan diriku sendiri. Mengutuk dan menyumpahi.

Tapi Yumi, kau harus tahu aku sudah menerima balasannya selama delapan tahun hidupku. Dan aku ingin semua ini berakhir. Kita harus memulainya dari awal.

I will hold you in my heart. Till I can hold you in my arms.

****

Aku melihatnya dari kejauhan, daun maple yang menghujani rambut hitam legamnya. Ujung Syal merah marunnya berkibar diterpa angin musim gugur. Bersama gadis lain, tertawa dan saling menggenggam tangan. Mungkin ia sudah menemukan alasan untuk siapa ia harus tersenyum. Tak seperti halnya aku yang bodoh karena bahkan untuk tersenyum ketika melihatmu tertawa saja begitu sulit.

Senyummu menyakitiku. Tapi ketika jendela kamar terbuka, menampakkan rintik air hujan. Aku harus menikam perasaan rindu ini dalam-dalam. Yang kutahu bahwa, untukku tak ada ruang yang sama seperti yang dimiliki gadis itu dihatimu.

Seharusnya kau mengerti rasa sakitku. Mungkin itu akan membuatmu berfikir sekali lagi tentang sikapmu yang tak mau peduli.

Pada suatu ketika aku harus mengambil keputusan yang sangat berat dalam hidupku. Pergi dari hidupmu. Ini harus kulakukan karena kalau tidak. Aku benar-benar akan mati.

Aku sadar, pada akhirnya, tidak ada yang bisa mamaksa. Tidak juga janji dan kesetiaan. Sekalipun aku memilih tetap bersamamu, hati tak akan bisa dipaksa oleh apapun, oleh siapapun.

Aku menghentikan kegiatan membaca novel Yumi. Ketika televisi menampilkan wawancara dengan beberapa undangan di acara kemarin.

Itu gadisku. Berdiri di depan beberapa wartawan dengan senyuman ramahnya. Ia tampak cantik dengan dress aqua yang membalut tubuh mungilnya. Ia memamerkan sebuah novel yang sama persis yang ada di genggamanku. Bersampul bunga iris kecil di dalam pot.

“Yumi~ssi, mengapa kau memutuskan untuk memilih menjadikan karakter Anne pergi meninggalkan Kevin?”

Aku melihat Yumi tersenyum kecil, seperti tanpa beban. Tapi kemudian jawaban yang diberikannya membuatku ingin membunuh diriku sendiri.

“Aku selalu menempatkan diriku sendiri dalam cerita ketika melukiskan karakter Anne. Dan menurutku menunggu itu menyakitkan, meninggalkan juga,,,,” Yumi kembali tersenyum, “tapi lebih menyakitkan lagi ketika kita tak tahu harus menunggu atau meninggalkan.”

“Kau menghayati karakter Anne dengan sangat baik. Apakah ini kisah nyata?”

“Tidak, ini bukan kisah nyata.” Tawa renyahnya menyakitiku.

“Kemudian pertanyaan yang terakhir. Para pembaca merasa belum puas dengan akhir cerita. Mereka menemukan kebingungan tentang apa yang menjadi akhir dari kisah ini. Apakah nantinya akan ada lanjutan atau seaseon dua?”

“Tidak, tidak. Akhir ceritanya sudah jelas. Anne pergi dan Kevin tetap pada kehidupannya. Tidak akan ada squel atau yang lainya. Kisah ini cukup sampai di situ.”

****

Taemin bilang Yumi akan berkeliling ke pusat oleh-oleh di Vanice siang ini. Aku sudah siap dengan beberapa tangkai bunga Iris yang diikat rapi yang kubeli di depan hotel. Aku pun sudah menyewa mobil untuk mengantarku ke tempat Yumi berada. Hari ini aku putuskan untuk menemuinya. Entah apa yang saat ini kurasakan. Seperti cemas dan gugup dalam sekali waktu. Tapi lebih dari itu banyak ketakutan menggerogoti hatiku. Apa reaksi Yumi ketika kami bertemu nanti.

Lagi-lagi aku hanya bisa menguntitnya tanpa berani menyapa. Gadis itu sedang memilih oleh-oleh yang mungkin akan diberikannya pada keluarga yang di New York. Kali ini dia menggunakan setelan santai kaos longgar dengan rok lipat-lipat yang lucu. Ada tas selempang kecil menggantung di pundaknya. Akhirnya gadis itu memutuskan membeli miniatur drum, topi, dan beberapa potong pakaian.

Aku kembali melangkah mengikutinya. Gadis itu berhenti di sebuah toko pernak-pernik. Kaki-kaki mungilnya menaiki lima anak tangga sebelum melewati pintu kaca geser. Aku melihatnya sibuk mencari sesuatu sebelum ia memutuskan untuk membeli sebuah lonceng berwarna hijau tua.

Yumi keluar dari toko dengan senyuman mengembang di bibirnya. Ia tampak bahagia dengan tas-tas karton di tangannya. Yang kulihat selanjutnya adalah ia memasuki sebuah Caffe. Aku ikut masuk tapi aku menempatkan diriku beberapa meja di belakangnya. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela kaca yang memperlihatkan jalanan yang tampak ramai dengan pejalan kaki.

Gadis itu tampak cantik dengan bando putih polosnya. Matanya menerawang jauh ke luar. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya saat ini. Tatapan matanya tampak kosong sebelum dering ponsel mengalihkan konsentrasinya. Setelah itu ia tertawa senang. Aku ikut tersenyum melihat tawa riangnya.

Pesanan Yumi datang. Semangkuk mashmallow panggang dan secangkir kopi. Ia menghabiskan mashmallownya hanya dalam lima menit kemudian memesan lagi satu porsi. Aku tak pernah tahu kalau gadis itu begitu menyukai makanan kenyal berwarnah putih itu.

Kami sudah berada di caffe ini selama lebih dari satu jam. Kupikir Yumi sudah akan mengakhiri acara jalan-jalannya tapi kulihat ia justeru mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya. Ia tampak sibuk menorehkan coretan dibuku kecil itu dengan alis yang tertekuk tajam. Wajahnya terlihat lucu ketika sedang serius berfikir. Apa itu juga ekspresi yang sama saat ini menulis novelnya? Kemudian aku putuskan untuk mengeluarkan ponselku dan mengambil gambarnya. Hasilnya sangat menakjubkan. Aku akan mencetakkanya kalau sudah kembali ke Korea nanti.

Aku sibuk melihat foto Yumi ketika kusadari gadis itu beranjak keluar dari Caffe. Dengan terburu-buru aku menyusulnya menaiki bus. Kupikir ini akan membawa kita kembali ke Hotelnya. Dan ini akan menjadi akhir buruk rencana yang sudah kususun sebelum memutuskan membuntuti Yumi.

Aku baru tahu ternyata aku begitu pengecut. Aku belum berani untuk menemuinya secara langsung. Dan berakhir hanya dengan melihatnya memasuki hotel.

Helaan nafas kasar keluar dari mulutku. Aku menatap bunga iris yang masih kugenggam dengan erat. Kupikir ini akan sampai ditangan gadisku.

****

Bunyi alarm keras membangunkan tidurku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku mengecek ponsel dan menemukan beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat. Aku melihat salah satunya dari Taemin.

Hyung, Yumi memutuskan mempercepat kepulangannya. Ia kembali hari ini.

Selama beberapa detik aku merasa detak jantungku berhenti. Tidak, aku tak akan membiarkan kesempatan yang selama delapan tahun ini kuimpikan lenyap begitu saja. Yumi, gadis itu tak akan kubiarkan pergi lagi dari hidupku.

Aku sudah menanti cukup lama, dan aku tak ingin merasakan lagi sakitnya menunggu, mencari dan berharap. Ketika akhirnya kesempatan itu ada di depan mata, tidak mungkin kubiarkan berlalu begitu saja.

Dengan langkah tergesa kuambil kunci mobil yang tergeletak di dekat lampu tidur. Kujalankan mobil dengan kecepatan tinggi hingga tak butuh lama aku sudah ada di bandara Marco Pollo. Tujuan pertamaku adalah ke tempat recepsionis. Tapi wanita dengan sanggul berkelok itu mengatakan tidak ada penumpang atas nama Yumi dengan tujuan New York pada pemberangkatan lima menit yang lalu. Kemudian aku meminta untuk mengecek pada jadwal penerbangan yang lain untuk hari ini. Jawabannya sama. Tak ada penumpang atas nama Yumi Choi.

Rasanya nafasku tersendat di tenggorokan. Oksigen serasa tak ingin masuk ke dalam rongga paru-paruku. Kembali aku telah melakukan hal bodoh dan membuang sia-sia kesempatan yang diberikan Tuhan.

Tidak, ini belum berakhir. Jika bukan di sini. Maka kami akan tetap bertemu, di manapun. Meskipun harus di New York.

Aku sudah menghubungi Taemin dan menanyakan alamat keluarga Choi yang di New York. Taemin bilang nanti  akan mengirimnya lewat pesan. Aku juga sudah memesan tiket untuk penerbangan sore nanti. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bersiap-siap. Check Out dan membereskan barang-barang yang ada di hotel.

Aku tak tahu apa yang membuatku sampai di sini. Mobilku tiba-tiba berbelok arah yang berlawanan dari hotel yang selama dua hari ini kutempati menjadi ke arah hotel yang di tinggali Yumi.

Petugas yang berjaga di depan nampak melihatku dengan pandangan aneh dan hal itu baru membuatku sadar bahwa aku hanya menggunakan piama dan sandal rumah. Penampilanku pasti berantakan. Rambut acak-acakan, belum gosok gigi apa lagi mencuci wajah.

Aku sama sekali tak peduli dengan penampilanku. Kakiku tetap melangkah menuju kamar nomor 1234 di lantai tujuh. Aku melihat petugas kebersihan keluar dari kamar Yumi. Jadi, gadis itu benar-benar sudah pergi?

Kakiku tiba-tiba saja lemas. Rasanya tak kuat lagi untuk menopang berat tubuhku sendiri hingga merosot ke bawah. Tantai yang berkarpetpun terasa dingin begitu juga dinding di belakang punggungku. Dingin.

Aku mengingat beberapa kata yang di tulis Yumi di akhir novelnya.

“Tidak peduli seberapa terbakarnya hatiku untuknya. Hatinya, akan tetap sedingin es.”

Di lain halaman dia juga menulis, “Akan berbeda jika kami tak pertemu, tak pernah manikah, maka juga tak akan pernah ada cerita menyedihkan ini. Tapi dari pada sakit, hidupku lebih terasa mati.”

Setalah delapan tahun berlalu, setelah rasa sakit yang juga kutanggung sendirian. Apakah rasa sakitmu masih sebesar dulu? Saat nanti kita bertemu, bisakah kau memaafkanku. Maafkahlah suamimu yang bodoh ini. Maafkanlah. Kumohon.

****

Yumi Choi

Kupikir aku bisa mengacuhkannya. Kupikir efeknya tak akan seperti ini. Ini terlalu berlebihan, setelah delapan tahun hidupku terasa baik-baik saja tanpanya. Aku sudah sejak lama tak lagi memikirkan tentangnya. Kupikir otakku juga sudah tak mengenalinya lagi. Aku sudah lupa bagaimana wajahnya, bentuk tubuhnya, warna kulitnya, bahkan suaranya. Semuanya, aku sudah melupakannya hingga titik terluar.

Tidak sebelum aku melihatnya lagi. Tubuhnya yang semakin kurus. Mata sayunya. Ternyata aku masih menyimpan semua tentangnya hingga detail terkecil. Apa yang ia lakukan selama delapan tahun terakhir hingga jadi seperti itu.

Sampai sekarang aku masih bisa merasakan detak jantungku saat pertama kali melihatnya keluar dari gerbang kedatangan. Lengannya yang menarik satu koper hitam kecil tak sekokoh dulu, ototnya sudah hilang entah kemana. Yang kulihat hanya sosok yang begitu rapuh.

Aku bisa menyimpulkan bahwa hidupnya tak sebaik diriku menjalani hari-hari. Aku bahagia, aku merasakan cinta dari orang-orang yang juga kucintai. Aku merasa lengkap, kupikir. Tapi nyatanya, wajahnya menyadarkanku bahwa aku telah kehilangan bagian terpenting dalam hidupku.

Namun, kedatangannya, pertemuan kami kembali. Tak akan merubah apa pun.

Oppa, apa yang kau lakukan disini?”

***

Jonghyun Oppa mendongak untuk memastikan bahwa yang baru saja didengarnya adalah suaraku.

“Yu Yumi~ya…”

“Jonghyun Oppa apa yang kau lakukan di depan kamar hotelku dengan pakaian seperti itu? Apa kau juga menginap disini?”

“Mi~ya kau masih disini?” air mata masih mengalir di kedua belah pipi Jonghyun Oppa. Aku merasa aku harus mengabaikan itu. Walau sebenarnya air mataku pun ingin mendesak keluar.

“Tidak ya? Oppa kurasa kau perlu masuk ke dalam, sepertinya kau tidak sedang baik-baik saja.”

Mengabaikan perasaanku yang hancur melihatnya seperti ini, aku menuntun Jonghyun Oppa untuk masuk ke dalam kamar hotel. Ini kulakukan semata hanya karena kemanusiaan. Tak ada yang lebih.

Aku mengambil cangkir kemudian menuangkan teh hangat ke dalamnya. Kurasa ia membutuhkan minum.

Aku mengulurkan teh manis itu dan dengan patuh Jonghyun Oppa meminumnya tanpa banyak bicara. Matanya masih memandangku tanpa berkedip. Matanya menyiratkan ketidakpercayaan dan harapan di satu waktu. Tidak, aku tak boleh goyah hanya karena ini.

“Mi~ya, Benar ini kau?”

“Tentu saja Oppa, kau pikir siapa lagi. Apa kau sudah melupakan wajahku?”

“Te tentu saja tidak.”

Aku membiarkan penglihatannya mengikutiku kemanapun. Aku mencoba acuh. Tetap memasukkan barang-barang ke dalam koper. Besok dengan penerbangan di pagi buta aku akan kembali ke New York.

“Kau akan pulang hari ini?”

“Tidak, aku kembali besok.”

Aku seperti terperangkap dengan tatapan matanya yang tak lepas dariku.

“Mi~ya. Ayo pulang ke Korea…”

Tanganku yang ingin memasukkan oleh-oleh untuk Minho tiba-tiba terasa membeku. Kata-katanya begitu ringan terucap. Seperti tak pernah terjadi apa pun. Seperti ia tak pernah melakukan dosa sama sekali. Tidak tau mengapa, tapi tiba-tiba amarah muncul di puncak kepalaku.

“Apa maksudmu Oppa, aku tak memiliki rumah di Korea. Jadi bagaimana mungkin aku pulang kesana.”

“Kumohon Mi~ya. Beri aku kesempatan sekali lagi. Maafkan aku dan kita pulang ke Korea bersama.”

“Aku tak mengerti maksudmu. Kupikir kau memang sedang tak baik-baik saja. Aku akan menelepon taksi untuk mengantarmu kembali ke hotel.”

“Yumi, kumohon. Jangan bersikap seperti kita tak pernah ada hubungan apa pun. Kumohon jangan seperti ini. Jangan menganggap kita tak ada apa-apa.”

“Kau yang menganggap ini tak ada apa-apa. Kau bersikap seperti tak pernah melakukan dosa apa pun.” Nada bicaraku meninggi. Aku kehilangan kontrol diriku. Seharusnya tak seperti ini. “Kau datang dengan tanpa rasa bersalah mengajakku kembali seolah-olah hanya butuh sekian detik untuk menghapus luka yang sudah kau torehkan. Bukankah kau sangat kejam. Ya, kau memang sangat kejam. Dari dulu.”

Jonghyun Oppa bungkam, bibirnya tertarik ke dalam seperti menahan sesuatu.

“Yumi, aku tahu apa yang sudah kulakukan padamu be…”

“Tidak, kau tidak tahu, kalau kau tahu kau tak akan pernah berani memintaku untuk kembali.”

“Dengar Mi~ya…” aku menyentak lengannya yang berusaha menggapai pundakku hingga ia terdorong beberapa langkah ke belakang. Raut frustasi tergambar jelas di wajahnya.

“Aku memang berdosa besar padamu. Aku menyiakanmu dan berujung pada penyesalan selama delapan tahun lebih. Tapi kau harus tahu, seberapa jauhpun kau mencoba lari. Pada akhirnya kau tetap harus pulang padaku.”

“Kenapa kau begitu egois Oppa?”

“Karena meskipun kau menolak, takdir tetap akan berjalan, baik kau sendiri yang menjemputnya atau seseorang yang akan mengantarkannya tepat di depan matamu. Dan kau tahu, aku adalah takdirmu”

“Kau bukan takdirku! Takdir yang kau bilang itu sudah berakhir delapan tahun yang lalu. Sudah mati bersama malaikat yang kau bun…”

Kata-kataku tertelan kembali ke tenggorokan begitu bibir Jonghyun Oppa menempel sempurna menangkup bibirku.

“Kumohon jangan katakan itu. Aku hidup, tapi rasanya mati jika mengingatnya. Jadi kumohon berhenti mengingatkanku tentangnya.”

Air mata kami sama-sama mengalir deras. Disela bibir kami yang masih saling menempel. Kau tahu, aku juga menyesal mengatakan hal keji itu. Malaikatku, seharusnya ia tak harus dibawa dalam pembicaraan omong kosong ini.

Aku mencoba mendorongnya agar menjauh dariku. Tapi telapak tanganku terasa terbakar ketika menyentuh dadanya.

Pada akhirnya aku memang selalu kalah darinya. Pembicaraan ini, tidak benar-benar omong kosong. Aku selalu jatuh padanya.

END

SOMEDAY SQUEL [PART 1]

SOMEDAY

SOMEDAY SQUEL [Part 1]

Cast :

  • Lee Donghae
  • Han Da-Yeon

Genre :

Rating : PG 13

Langit malam sehitam biasanya, bintang-bintang terlihat dari balik jendela kaca yang menghubungkan dapur dengan belakang toko kue. Da-Yeon merenggangkan kedua lenganya yang lelah karena beberapa jam terakhir ia gunakan untuk mengaduk adonan kue.

Pintu dapur di samping lemari penyimpanan tepung gandum tiba-tiba berderit terbuka, Da-Yeon mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang yang tampak seperti tumpukan permen di hari Halloween, menampakkan sosok lelaki tambun dengan pembungkus kepala khas chef tengah berjalan menghampirinya.

Biasanya lelaki itu akan memberikan ceramah penutup sebelum Da-Yeon pulang, mengenai bagaimana dan seberapa banyak ia telah melakukan kesalahan hari ini. Da-Yeon sudah bersiap menerima kritikan apa pun ketika lelaki yang biasa dipanggilnya ‘Bos’ itu tersenyum padanya-tidak seperti biasa.

Apa hari ini ia tak melakukan kesalahan apa pun? Mustahil, karena seperti biasa ia mengeraskan beberapa pons adonan kue yang diulennya. Atau tiba-tiba toko kue milik ‘Bos’ mendapat order besar? Bisa saja sih, tapi kalau hanya gara-gara itu lelaki dengan perut menggembung ini sampai memamerkan senyum selayaknya tengah membintangi iklan salah satu prodak pasta gigi serasa tak masuk akal. Ah entahlah, Da-Yeon tak mau ambil pusing. Ia sudah cukup lelah hari ini dan berharap bisa cepat-cepat pulang dan menghempaskan punggungnya ke kasur, memeluk Tomi—boneka Babinya dan tidur dengan lelap.

“Aku punya berita gembira untukmu!” senyum itu berubah misterius membuat Da-Yeon mengernyit. Lelaki itu semakin mendekat, menepuk bahu Da-Yeon ringan. “Aku yakin kau akan sangat berterima kasih padaku!”

“Berita apa Bos?” Da-Yeon bertanya penasaran. Sejenak ia melepas celemek yang membungkus pinggangnya. “Apa aku diterima di restoran terkenal kelas dunia itu Bos? Mereka menyetujui lamaranku kemarin?” Suara cempreng itu terdengar bersemangat. Da-Yeon tak menyangka dirinya yang hanya seorang pelayan di toko kue yang kadang-kadang sok sibuk dengan membantu mengaduk adonan kue bisa diterima di restoran sehebat itu.

Da-Yeon memang tak pernah bercita-cita menjadi seorang patissier, sejak kecil ia ingin sekali menjadi koki yang hebat sama seperti pria tujuh tahun lalu yang berhasil menjerat Da-Yeon dalam pesonanya hanya gara-gara pasta dengan mayonise dan taburan biji wijen di atasnya. Pria itu tampak begitu bersinar dengan seragam kokinya, sayangnya Da-Yeon tak pernah lagi bisa bertemu dengannya. Sehari setelah kejadian itu Da-Yeon kembali ke restoran tempatnya bekerja, namun sial, bos di sana mengatakan bahwa pria itu telah pindah ke luar negeri. Da-Yeon seakan di hempaskan oleh angan-angan yang bahkan baru akan ia mulai. Sunggu tragis. Tapi dia percaya, suatu saat mereka pasti akan dipertemukan kembali karena mereka berjodoh, begitulah yang diyakini Da-Yeon.

“Tidak, bukan seperti itu maksudku,” sela Bos saat melihat raut wajah Da-yeon yang begitu bahagia. Ia hanya tak ingin memberikan harapan palsu.

Da-Yeon mengernyit, kalau bukan itu lalu berita bagus seperti apa yang bisa membuat gadis yang identik dengan poni dan kuncir kudanya itu merasa bahagia. Da-Yeon jadi sangsi, apa benar berita itu berita bagus, apa jangan-jangan itu hanya akal bulus bosnya untuk menyingkirkan Da-Yeon dari kafe mengingat sudah ratusan kali pria jelek itu mencoba memecat Da-Yeon. Tak bisa dibiarkan, kalau sampai kali ini pria itu berhasil memecatnya, maka habislah ia. Apartemen sewaan bulan ini saja belum ia bayar, bibi Jung bisa marah besar nanti. Astaga, apa Da-Yeon akan menjadi gelandangan?

“Bagini Yeon~ie, bukankah kau tak tertarik menjadi seorang Patissier?” Da-Yeon hanya mengangguk menanggapi pertanyaan tak penting yang bahkan Tomi saja tahu jawabanya, “Dan bukankah kau sangat ingin menjadi koki profesional?” sekali lagi Da-Yeon mengangguk.

Gotcha!!” Da-Yeon hampir terjungkal ke belakang begitu pria dengan janggut yang bahkan lalat saja malas untuk hinggap karena saking licinya menaikkan oktaf suaranya beberapa tingkat secara mendadak. Astaga, orang ini memiliki bakat alami untuk mencabut nyawa sesorang hanya dengan lengkingan suaranya. Da-Yeon harus berhati-hati.

“Aku memiliki cara ampuh yang bisa melancarkan jalanmu untuk menjadi seorang koki dengan keprofesionalan yang tinggi,” lanjut pria itu berlebihan. Da-Yeon tampak masih menunggu, firasatnya berkata ini tak akan bagus.

“Kau kenal Superjunior?” Astaga pertanyaan tak penting apa lagi ini, Da-Yeon hanya mengangguk malas. “Kau tahu kan kalau Leader mereka sedang menjalani wamil?” Da-Yeon kembali mengangguk. Berita mengenai keberangkatan wamil leader Superjunior ini hapir seminggu penuh mangiasi deadline majalah dan menjadi topik hangat acara gosip di TV, siapa yang tak tahu. Tapi masalahnya, apa hubungan wamilnya leader Superjunior dengan cita-cita Da-Yeon menjadi seorang koki profesional.

“Kau menyukai mereka?” Da-Yeon mengernyit, “maksudku Superjunior,” Lanjut Bos menjelaskan. Spontan Da-Yeon menggeleng. Memang benar ia tak begitu menyukai sekumpulan pria super ganteng yang bahkan hampir terlihat cantik itu, Da-Yeon pikir ia tak memiliki waktu sebanyak itu untuk mengelu-elukan mereka. Kehidupannya terlalu rumit hanya untuk menjadi seorang fangirl.

Omo! kau tak menyukai mereka?” Kaget Bos dengan ekspresi yang berlebihan sedangkan Da-Yeon hanya menanggapinya dengan gelengan ringan. Tak tahu di bagian mana yang bisa membuat Bosnya itu terlihat sangat terkejut. Tak semua orang harus menyukai Superjunior kan? walau tak bisa dipungkiri virus mereka telah menyebar ke seluruh dunia.

Bos menghela nafas, “baiklah, kau menyukai ataupun tak menyukai mereka itu bukan masalah. Tapi aku memiliki penawaran bagus untukmu Yeon~ie.” Da-Yeon diam menunggu bos menyelesaikan kalimatnya. “Kemarin aku bertemu dengan manager salah satu Sub Grup mereka yang kebetulan adalah temanku waktu SMA, dia bilang mereka tengah membutuhkan seorang koki khusus untuk memenuhi kebutuhan makan artis mereka. Kau tahu kan, para artis tak bisa makan sembarangan?” Da-Yeon masih tak mengerti dengan apa yang kini tengah dibicarakan oleh bosnya.

“Da-Yeon~ah dengarkan aku, walau kau tak bersekolah di tempat yang bisa membuat bakatmu berkembang, tapi aku tahu kau selalu berlatih untuk mengasah bakat masakmu itu. Aku tahu kau bisa memasak dengan baik. Lagi pula ini bisa menjadi batu loncatan untukmu. Kau akan semakin profesional dalam memasak hingga kau bisa berdiri sendiri dengan bakatmu itu. Kau mengerti kan?”

Sel-sel otak Da-Yeon seakan baru terhubung. Intinya Bos ingin memecat Da-Yeon dengan dalih ingin mengembangkan bakatnya yang tak bisa berkembang kalau ia tetap bekerja di toko kuenya.

“Tapi aku ingin menjadi koki bos, bukan tukang masak apa lagi pembantu pria-pria dewasa dengan tingkah dan wajah yang bahkan aku sendiri sangsi mereka memang sudah dewasa atau belum.”

“Da-Yeon~ah, kau tak akan menyesal menerima tawaranku, aku jamin. Dan besok kau tak perlu lagi datang kesini. Manager mereka akan menjemputmu di apartement.”

Pria gendut ini benar-benar telah merencanakanya dengan sangat baik. Da-Yeon ingin sekali memotong lidahnya dan membuatnya sebagai pengganti daging yang semakin mahal saja. Tapi kalau dicerna lebih dalam lagi, apa tugas leader adalah menjadi tukang masak para member hingga kini mereka harus susah payah mencari tukang masak karena leader mereka tengah berjuang membela negara. Da-Yeon tersenyum miris, sungguh kasihan.

****

Pagi ini terasa begitu kacau bagi Da-Yeon. Setelah menumpahakan selai coklatnya untuk membuat roti panggang, ia harus merelakan punggungnya untuk mencium lantai karena terpeleset di kamar mandi. Sakitnya semakin terasa ngilu saat ia harus mengayuh sepeda untuk sampai di kampus dalam waktu lima menit.

Ingatkan ia untuk menghukum Tomi sepulang kuliah, bagaimana mungkin babi jelek itu lupa untuk membangunkannya disaat hari ini akan ada kuis dari dosen Kim. Tadi malam pun ia tak sempat membuka barang satu halaman saja buku kalkulusnya. Pernyataan dari si gendut membuat pikiran Da-Yeon tak bisa fokus untuk diajak bekerja kecuali memikirkan nasib hidupnya. Ia akan mampus di tangan bibi Jung besok. Ia bahkan sudah berjanji untuk melunasi uang sewa apartemennya dua bulan ke belakang. Pesangonnya pun hanya bisa untuk membayar setengahnya saja. Bos benar-benar tega. Apa ia sudah harus membuat surat wasiat sepulang kuliah nanti? Ya Tuhan, Da-Yeon belum mau mati sebelum bertemu dengan pangeran kokinya.

Sebuah benda keras tiba-tiba menghantam pelipis Da-Yeon hingga membuat gadis itu mengaduh kaget. Sialan sekali orang yang tega menyakitinya disituasi genting seperti ini. “Yaa!” Da-Yeon memekik marah sambil menggebrak meja dengan penghapus yang sudah mencium pelipisnya.

“Kalau kau tidak mau mengumpulkan kertas kuismu dan terus melamun, aku bisa kembali ke kantor sekarang nona Han. Kurasa teman-temanmu sudah menikmati makan siang mereka saat ini, apa kau tidak lapar?” suara berat yang terdengar berwibawa itu membuat Da-Yeon memebeku di tempatnya. Astaga jangan bilang dosen Kim yang telah melemparinya dengan panghapus sialan itu. Ya Tuhan, bahkan satu nomorpun belum ia kerjakan. Ia akan benar-benar mampus hari ini. Tak diragukan lagi, mampus!

“Nona Han Da-Yeon?” suara itu kembali terdengar dengan nada bertanya yang dingin.

Perlahan gadis itu mengangkat kepalanya dan dapat dilihatnya dosen Kim menatap dirinya dengan pandangan jengah. “Iya Seongsaengnim?” suara itu terdengar sedikit tersendat.

“Kertasmu.”

Da-Yeon melangkah ragu dengan kertas kuis di balakang punggung. Ia menatap takut-takut dosen Kim. “Mianhamnida Seongsaengnim,aku belum selesai mengerjakan soalnya. Bolehkah aku mendapatkan lima menit perpanjangan waktu?”

“Kau pikir ini pertandingan sepak bola?”

Da-Yeon sudah ingin menangis ketika suara tawa seisi kelas menganggu kesehatan telinganya.

***

Da-Yeon melangkah lesu sambil menuntun sepeda kesayangannya. Keranjang sepeda itu sudah penuh dengan tumpukan kertas dari Seongsaengnim sebagai bentuk hukuman karena tak satupun soal yang dia berikan dikerjakan Da-Yeon.

Bukan masalah itu yang kini mengganggu pikiran Da-Yeon, karena itu bukan kertas-kertas berisi soal-soal kalkulus yang harus ia selesaikan. Itu hanya tumpukan kertas hasil kuis tadi yang harus dikoreksi sesuai dengan kunci jawaban yang telah Seongsaengnim berikan. Tidak sulit bagi Da-Yeon, mungkin hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam jika saja nanti bibi Jung masih memberikan belas kasihnya agar Da-Yeon boleh tetap tinggal di apartement kecil itu.

Da-Yeon sempat berpikir untuk menerima tawaran yang tadi pagi ditolakkanya dengan cara yang sangat kasar. Ia masih ingat umpatan-umpatan apa yang ia semburkan pada Ahjussi Manager. Bahkan ia sempat mengatainya Ahjussi mesum hanya gara-gara orang itu mencoba ramah dengan mengajaknya berjabat tangan. Da-Yeon seperti menelan kotorannya sendiri jika ia menghubungi Ahjussi manager. Oke. Mungkin pilihan itu harus Da-Yeon singkirkan jauh-jauh.

Kakek di Jepang sudah sangat tua, tidak mungkin dia merepotkan satu-satunya orang yang paling disayanginya itu. Walau seandainya pun ia meminta tentu kakek membantunya dengan senang hati, tentu saja dengan diimbuhi petuah-petuah membosankan karena selalu menolak uang kirimannya. Mencari pekerjaan lain pun akan sia-sia disaat genting seperti ini. Tak mungkin ia langsung mendapat gaji di hari pertama bekerja. Atau jika ia mau bermuka tembok ia bisa meminjam uang pada bos barunya. Huh. Otak Da-Yeon rasanya mau pecah saja.

***

Da-Yeon belum ingin pulang ke apartemen dan bertemu dengan bibi Jung kemudian mendapati pelototan wanita gendut itu. Jadi ia memutuskan untuk memarkirkan sepedanya di taman Deoksu dan mengambil beberapa lembar tugas dari teman-temannya untuk ia cicil dikoreksi.

Baru beberapa lembar saat Da-Yeon merasa perutnya berbunyi nyaring. Astaga ia sampai lupa bahwa belum ada nasi sedikitpun yang masuk ke dalam tubuhnya kecuali roti tanpa selai tadi pagi.

Da-Yeon merogoh dompetnya yang ada di dalam tas selempang. Melihat tak ada selembar pun uang disana, Da-yeon mengerang frustasi. Ya Tuhan bahkan untuk sesuap nasi saja ia tak bisa membelinya. Kenapa hidupnya semakin susah saja.

Kemudian Da-Yeon ingat tentang uang pesangon dari Bos. Ia kembali mengobrak-abrik isi tas selempangnya dan menemukan amplop putih yang masih tertutup rapat. Da-Yeon belum sempat mengeceknya kemarin ketika ia keluar dari toko kue dengan perasaan dongkol setengah mati.

Da-Yeon membuka perekat amplop itu dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia menghitungnya dengan hati-hati beberapa kali, ia memastikan tidak ada kesalahan dan menggunakan ketelitiannya secara maksimal. Tapi jumlah uang itu tetap sama. Persis seperti dugaanya yang bahkan hanya bisa digunakan untuk melunasi setengah uang sewa apartemennya.

Sekali lagi perut Da-Yeon berbunyi. Ia menatap miris uang di genggamannya dan mengelus perutnya dengan menyedihkan. Da-yeon sudah ingin menangis ketika ia teringat bahwa masih ada sisa Kimchi yang diberikan oleh bibi tetangga sebelah kemarin malam.

Da-Yeon bergegas memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas dan mengambil sepedanya. Ia mengayuh cepat pedal sepeda hingga tak memperhatikan seorang pejalan kaki di kiri jalan. Pikirannya dipenuhi oleh Kimchi bibi tetangga. Perutnya juga sudah tak bisa menunggu.

Ia lupa bahwa jalan setapak yang dilalui sepedanya itu tak lebih dari satu meter lebarnya. Otomatis ketika ia mengayuh dengan kencang dan ingin menyelip seseorang yang bahkan berjalan dengan mata yang hanya fokus pada ujung sepatunya tanpa melihat ke depan. Da-Yeon merasa ia sudah tak bisa mengatasi laju rodanya ketika pria itu juga tak mendengar teriakannya.

“Minggir!” Da-Yeon ingin mengerem tapi terlambat. Setir sebelah kirinya menabrak punggung laki-laki berpenampilan aneh itu.

Da-Yeon terpental dari sepedanya dan sempat melihat pria itu ambruk di bawah sepeda sebelum ia merasa kepalanya pening karena menghantam tanah. Untung tidak ada batu yang mengenai pelipisnya.

Beberapa menit Da-Yeon hanya diam. Ia belum bisa bangun karena badannya terasa remuk. Perlahan ia membuka matanya dan berusaha bangkit. Beberapa kertas ujian yang tercecer menyapa penglihatannya.

Da-Yeon berdecak kesal. Dosen Kim pasti akan memarahinya. Buru-buru Da-Yeon bangkit dan memunguti kerta-kertas itu hingga penglihatannya menangkap kaki seseorang yang hampir membuatnya terjatuh lagi.

Da-Yeon memperhatikan lagi dan membawa pandangannya lebih meluar. Seketika matanya melotot horor melihat seorang pria dengan dandanan anehnya pingsan tertimpa sepeda malangnya. Atau pria itu yang keadaanya lebih malang. Entahlah, Da-Yeon lebih menyayangi sepedanya ketimbang orang asing dengan jaket tebal berhodi dan topi baseball serta syal yang melilit hampir menutupi separuh wajahnya. Ingatkan Da-Yeon bahwa ini bukan musim dingin.

Da-Yeon buru-buru mengangkat sepedanya—yang ternyata sudah patah setirnya—sebelum pria itu mati. Astaga apa yang harus dilakukannya pada pria yang tengah kehilangan kesadaranya ini. Da-yeon ingin mati saja. Mengapa masalah datang bertubi-tubi seperti ini. Apa ini karena ia kurang bersedekah.

Da-Yeon menghampiri pria itu. Mengguncang lenganya dengan sebelah kaki. Ia tak mau dituduh sebagai tersangka jika terjadi sesuatu pada pria itu, walau kenyataanya ia memang tersangka.

Pria itu bergeming. Marasa iba, Da-Yeon menundukkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat. Ia menyibak syal hingga memperlihatkan wajah pria itu yang ternyata sangat tampan, menurut Da-Yeon. Ia kembali berusaha membangunkan pria itu. Namun tetap nihil. Hingga tanpa disadarinya, Da-yeon menangis memikirkan nasibnya yang sebentar lagi akan ditangkap polisi karena telah membunuh seseorang.

“Kakek, maafkan Yeonie.” Da-Yeon tergugu dan menenggelamkan wajah di lipatan lututnya. Ia tak sanggup membayangkan hidup di penjara dan melihat kakek terkena serangan jantung kemudian meninggal. Ya Tuhan, Da-yeon merutuki pikirannya yang membayangkan kakek sampai meninggal. Apa pun keadaannya ia tak akan membiarkan hal itu terjadi, meskipun ia harus dipenjara.

Da-Yeon masih menangis ketika ia merasakan sentuhan di pundaknya.ia mengangkat kepalanya dan mendapati pria yang beberapa saat yang lalu mati kini menatapnya dengan raut khawatir.

“Kau tak apa-apa, apa ada yang terluka?” pria itu terlihat bodoh dengan pertanyaannya. Bahkan Da-Yeon sudah takut setengah mati karena mengira ia telah mati. Tapi pria itu justru bertanya keadaannya dengan raut khawatir.

“Maaf aku tak memperhatikan jalan tadi hingga membuatmu menabrakku.” Pria itu kembali berujar. Duduk berjongkok di hadapan Da-Yeon dengan wajah khawatir.

Tangan pria itu terulur untuk mengusap airmatanya hingga Da-Yeon reflek menepisnya. Da-yeon mendelik marah karena niat pria itu yang ingin menyentuh pipinya. Bahkan mereka tak saling mengenal dan baru pertama kali bertemu.

Da-Yeon ingin marah dan mengumpat tapi kata-katanya tersendat di tenggorokan ketika melihat pria itu tersenyum kikuk dan mengusap belakang rambutnya yang Da-Yeon tahu hanya untuk menutupi rasa canggungnya.

“Maaf. Aku selalu tak bisa berpikir jernih saat melihat wanita menangis. Maaf” pria itu terus mengusap belakang kepalanya. Hingga pandangannya menemukan sepeda Da-Yeon yang rusak.

“Apa itu sepedamu?” Da-Yeon mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“Aku akan menggantinya. Kau tenang saja.” Pria itu bangkit dan menepuk celananya yang kotor. “Dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu.”

Da-Yeon masih bergeming ketika pria itu membantunya untuk berdiri. Menepuk rok Da-Yeon yang juga kotor.

“Ah, lututmu berdarah. Itu harus segera diobati kalo tidak akan infeksi. Ayo dimana rumahmu?”

Da-yeon masih diam ketika pria itu beralih mengangkat sepedanya dan meringis kecil. Da-Yeon ingat setirnya sebelum patah sempat mengenai lengan pria itu. Pasti sakit.

“ayo. Apa yang sedang kau tunggu.” Da-Yeon tersadar ketika pria itu sudah berjalan dengan menuntun sepedanya menuju sebuah mobil. Da-Yeon buru-buru mengikutinya.

Pria ini bodoh atau apa. Seharusnya dia yang marah bukannya malah dia yang bertanggung jawab. Bukankah tadi Da-Yeon yang menubruknya.

Da-yeon sudah berada di dalam mobil ketika ia sadar dari lamunannya. Ia menoleh ke samping dan melihat pria itu meringis memegangi lengannya.

“Tenang saja. Aku oke.” Pria itu sadar telah diperhatikan. “Sekarang tunjukkan dimana rumahmu?”

Da-Yeon kembali ingin menangis ketika pintu lift terbuka dan menemukan bibi Jung sudah ada di depan pintu apartemennya. Ia menoleh ke samping dan mendapati pria itu menatapnya dengan pandangan bertanya. Ya Tuhan pikiran buruk apa lagi yang kini mampir di otaknya. Da-Yeon tidak menyangka bahwa ia mempunyai niat jahat pada pria yang bahkan sudah menolongnya. Tapi, kalau tidak ia bisa mati. Baiklah, setelah ini Da-Yeon akan mohon ampun kepada Tuhan.

Ia memberanikan diri melangkah menghampiri bibi Jung dan diikuti oleh pria itu.

“Yeon~ah hari ini kau berjanji akan melunasi uang apartemenmu.” Da-Yeon mengumpat dalam hati. Bibi Jung benar-benar manusia kikir. Apa dia tak melihat bahwa da-Yeon baru saja terkena musibah. Bahkan ia tak menanyakan keadaan Da-Yeon yang berantakan ini sama sekali. Suatu saat dia pasti dihukum Tuhan.

Da-Yeon merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan amplop putih. Ia menyerahkan amplop itu dengan takut-takut.

Kepalanya senantiasa menunduk “Bibi Jung, itu hanya setengahnya. Sisanya akan dilunasi oleh pria ini. Dia akan bertanggung jawab karena telah membuatku kecelakaan.”

MWO?”

To Be Continue

Senja dan Fajar [1] Negeri Empat Musim

Hanya ada dua musim, ketika Tuhan menakdirkanku untuk merajut kehidupan. Aku pernah bertanya kepada ibu mengapa mereka memberiku nama Senja. Alasannya adalah karena Fajar. Bukan karena tangis pertamaku pecah saat senja bergulir. Ibu menjelaskan tentang Fajar yang menghilang setelah pagi berlalu tapi pada akhirnya takdir tetap membawanya pulang pada Senja.

Saat itu aku tak mengerti sama sekali. Tapi sekarang karena hal itu aku tetap bisa berdiri tegak melawan hujan dan terik matahari. Harapan kecil yang aku titipkan pada kalimat yang sederhana itu. Aku akan selalu menagih kebenaran kalimat itu pada Ibu.

****

Roda kecil di kaki koperku berputar cepat. Tubuhku terasa terayun mengikuti langkah tergesa Ye-Jin. Saat di pesawat aku berpikir akan bisa menikmati keindahan bandara Incheon yang selama ini hanya bisa aku lihat di beberapa postingan teman-teman di media sosial. Tentang beberapa Idola mereka—yang juga termasuk Idolaku hilir mudik untuk berkunjung ke beberapa negara.

Aku mendengus sebal pada Ye-Jin. Gadis ini seperti tengah dikejar hantu saja. Pot dalam dekapanku semakin kueratkan karena takut akan terjatuh. Jangan bertanya mengapa aku bisa membawa pot ini di pesawat. Bahkan aku harus mengeluarkan uang satu juta rupiah hanya untuk itu. Ingin sekali aku menonjok petugas bandara saat itu.

“Jangan mendengus seperti itu. Ini kulakukan karena aku tak mau kita membeku karena suhu -4°C di pagi buta seperti ini.” Ye-Jin protes dengan bahasa koreanya yang kental.

Aku sudah menguasai bahasa korea bahkan sebelum aku lulus sekolah menengah atas. Ibu membiarkanku mengikuti les bahasa walau keuangan kami pas-pasan. Tidak. Aku menabung untuk membayarnya tiap bulan.

Jika saja perkataan Ye-Jin tak benar. Aku sudah akan membalasnya. Tapi mungkin hal itu harus kuurungkan ketika hawa dingin masih menyentuh kulit pipiku. Ye-Jin sempat memakaikanku mantel tebal sambil mengomel sebelum menarikku tadi. Aku baru tahu ternyata Ia sangat cerewet. Berbanding terbalik saat kita hanya berteman melalui media sosial. Mulutnya sangat manis.

****

Aku memandang butiran salju yang masih saja turun padahal fajar sudah datang. Dari balik jendela kaca bus yang kami naiki, aku bisa melihat tumpukan salju di sepanjang jalan. Kini aku sudah berada di negara empat musim impianku.

Musim salju kemudian bunga bermekaran di musim semi. Ibu bilang pemandangan musim gugur dengan aroma coklat adalah yang terbaik. Setelah itu akan ada musim panas yang ceria.

Ye-Jin sudah tidak mengomel lagi, dia tertidur pulas dengan bantal leher Pororonya. Sebelum itu dia bilang kita masih ada satu jam sebelum sampai di Seoul. Entah mengapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat.

Seoul. Seseorang meninggalkanku di negara dua musim dan tinggal di sana bersama ibunya. Dia tidak mengatakan apa pun selain bahwa dia lahir disana. Sudah delapan tahun dan Ye-jin mengatakan Seoul itu luas. Kemungkinan kami bisa bertemu hanya nol koma titik-titik persen. Jahat sekali dia mengatakan hal itu padaku. Gadis ini memiliki mulut yang pedas dan terlalu terus terang. Kalau bukan dia satu-satunya orang yang mau memberiku tumpangan gratis selama satu semester pertukaran pelajar ini, aku tak akan sudi setiap saat mendengar gerutuannya. Malang sekali nasibku.

****

Aku menaruh pot bunga kaktusku di kusen jendela bersama beberapa pot bunga lainya. Ye-Jin tengah memasak nasi dengan mesin penanak. Kami sempat membeli lauk saat perjalan pulang dari halte bus. Rumah Ye-Jin berada di atap sebuah gedung apartemen sederhana. Dia menyewanya dengan harga yang murah. Balakangan rumah seperti ini tengah populer di berbagai drama korea yang pernah kutonton. Aku akan memikirkan lagi tentang membayar setengah uang sewa rumah kepada Ye-Jin. Aku akan membantahnya dengan sekuat tenagaku kalau dia kembali menolak.

Saat aku menyusul Ye-Jin ke dapur aku melihatnya tengah sibuk memindahkan lauk yang kami beli ke dalam mangkuk. Aku membuka lemari es dan meneguk segelas air putih dingin yang langsung terasa menyebar di tenggorokan. Salju benar-benar membuat udara terasa menusuk tulang.

“Kau harusnya mandi terlebih dahulu sebelum menginjakkan kaki ke dapur.” Ye-Jin menyindir tanpa mau repot berbalik menatapku. “Kau bisa menyalakan pemanas airnya jika kau merasa kedinginan, Senja.” Akhirnya dia berbalik dan berkata dengan lebih halus saat tidak mendengar jawabanku.

“Aku akan melakukannya setelah makan.” Perutku sudah tak bisa menunggu lagi. Aku belum memakan apa pun selain hidangan di pesawat.

Ye-Jin tersenyum dan menyuruhku duduk sebelum mengambilakan nasi ke kalam mangkuk. Kami makan di depan TV dengan meja kotak tanpa kursi. Kami memasukkan kaki kami ke dalam kolong meja agar hangat.

Ye-jin bilang setalah ini dia akan mengajakku ke kampus sebelum besok perkuliahan dimulai. Kami berada di Universitas dan jurusan yang sama. Sepertinya kami memang berjodoh.

Ye-Jin seperti malaikan walau kadang mulutnya begitu menyebalkan. Karena dia, aku tahu ada program pertukaran pelajar di kampusnya. Kami menyukai bidang yang sama. Kami sama-sama mengagumi tanaman.

Ada beberapa bunga matahari di sebalah tempat jemuran. Ye-Jin membuat taman kecil di depan rumahnya. Bunga matahari adalah favoritku.

****

Fajar dan senja saling terkait sebagaimana matahari dengan langit. Pertemuan pertama kami tidak begitu spesial. Hanya awan-awan kecil seperti kapas yang aku ingat saat itu. Dulu aku membencinya. Memakinya setiap kali kami bertemu. Dia juga membenciku. Kami selalu bertengkar. Tapi entah mengapa diam-diam kami saling ingin bertemu setiap saat.

Ye-Jin menepati janjinya untuk mengajakku berkeliling Seoul setelah berkunjung ke Universitas dan menunjukkan beberapa kelas yang nantinya akan kami tempati. Ye-Jin bilang, aku tidak akan menemui banyak kesulitan saat mengikuti kuliah disini karena kemampuan bahasaku. Ye-Jin sendiri heran dengan logat tanpa celaku. Dia sampai tak percaya bahwa aku belum pernah ke Korea sebelumnya. Aku hanya mengatakan bahwa ibuku pernah tinggal disini selama beberapa tahun untuk melakukan penelitian bersama dosennya saat kuliah.

Kami sejenak berhenti di kedai sosis pinggir jalan. Sambil memijat betis aku memperhatikan Ye-Jin yang tengah membeli dua buah sosis besar. Aku tak tahu makanan apa yang Ye-Jin makan setiap harinya. Energinya seperti tak pernah habis. Kami sudah berkunjung ke Namsan Tower, Lotte World dan berakhir di sungai Han malam ini.

Sambil menggenggam sosis besar masing-masing, kami duduk untuk menikmati air mancur yang meluncur dari bawah jembatan yang jatuh langsung ke sungai. Airnya bergerak dengan indah dan ada bias cahaya warna-warni disana.

“Ye-Jin~ah[1], gomawoyo.[2]” setelah menelan gigitan pertama sosis raksasa ini aku berujar pelan mencoba tidak mengganggu Ye-Jin yang tengah menikmati pemandangan.

Gadis itu menoleh dan tersenyum tulus, “tidak perlu berterimakasih. Kau adalah teman pertamaku yang bukan orang Korea. Aku senang bisa membantumu.”

“Aku tak akan bisa membalas kebaikanmu, Ye-Jin~ah.” Aku bergerak untuk memeluk Ye-Jin. Gadis ini begitu baik. Ini adalah pertamakalinya aku jauh dari orang tua. Aku sempat tak yakin bisa bertahan. Tapi ternyata tak seburuk yang kubayangkan.

Pernah mendengar istilah bahwa teman bisa membuatmu lupa bahwa kau masih punya segudang masalah yang membebani pikiranmu. Kau akan tahu seberapa besar kau membutuhkan teman saat tak ada satu pun orang yang bahkan sempat hanya untuk mengatakan Hallo.

****

Kami berbaring bersebelahan dan saling menatap atap kamar yang berhiaskan gantungan bintang-bintang. Mereka menyala saat lampu tidur dimatikan. Ye-Jin bilang itu hadiah dari ibunya saat ia berulang tahun dua tahun yang lalu.

“Itu hadiah terakhir dari Eomma[3]. Dia meninggal sebualan setelahnya karena sakit. Dia memang sedah menderita penyakit ginjal selama bertahun-tahun. Aku sedikit lega karena tak akan melihatnya menderita lagi saat cuci darah. Tapi tetap saja rasanya tidak rela. Seseorang yang sebelumnya selalu bersamamu tiba-tiba saja pergi dan tak akan kembali.”

Aku hanya diam mendengarkan Ye-Jin bercerita. Tidak ada satu tetes pun air mata yang jatuh. Dia begitu tegar walau aku tahu dia pasti sangat sedih. Aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang berharga walau aku lebih beruntung karena mungkin kami masih bisa bertemu lagi meskipun Ye-Jin bilang persentasenya hanya nol koma titi-titik.

Ye-Jin tiba-tiba membalik tubuhnya menghadapku dengan gerakan cepat. Senyum lebarnya terukir. Sangat berbanding terbalik dengan wajah sendunya tadi. Aku memandangnya dengan kening berkerut heran. Mood-nya gampang sekali berubah. “Sudah jangan pikirkan tentang aku. Sekarang ceritakan saja tentang Fajar. Bagaimana dia, apa dia tampan? Kau punya fotonya tidak? Kau tidak mau memperlihatkannya padaku?”

“Aku tak punya fotonya kecuali saat kami masih kecil. Dia dua tahun lebih tua dariku.” Aku bergerak mengambil sebuah foto di dalam koper yang belum sempat aku bereskan.

Disitu kami tengah membantu Ibu menanam bunga di halaman rumah. Fajar tertawa lebar dan aku terlihat cemberut. Aku ingat saat itu dia memasukkan tanah ke dalam bajuku. “Dia itu anak yang nakal. Dia selalu menggangguku saat aku baru masuk sekolah menengah pertama sedangkan dia berada di tingkat akhir. Dia pernah memasukkan sampah plastik ke dalam tasku dan membuatku menangis sepanjang jalan pulang ke rumah. Dan sialnya ibu selalu membelanya.”

Ye-Jin tertawa lebar membuatku semakin kesal. “Kalian terlihat lucu di foto ini.” Ujarnya dengan berusaha menghentikan tawa. “Fajar ternyata sangat tampan.”

Ye-Jin kembali tertawa semakin kencang setelah melihat raut wajahku yang mendadak suram, ingin sekali aku meninjunya. “Astaga, tenang saja aku hanya bercanda. Jangan cemburu begitu padaku. Membuatku takut saja.”

Dan akhirnya kami tidur dengan nyenyak di bawah bintang milik ibu Ye-Jin. Kau tahu, cerita ini baru akan dimulai. Aku berharap kejutan-kejutan indah akan datang esok.

****

Hari pertama kuliah. Semua orang memperhatikanku. Mungkin tak biasa dengan kerudung yang menutupi kepalaku. Aku belum pernah menjadi sorotan banyak orang. Tapi Ye-Jin bilang aku tetap harus percaya diri, jika tidak mereka akan meremehkanmu. Apa aku sekarang tengah hidup di dunia drama? Entahlah aku tak ingin memikirkan ini.

Aku harus menemui Kim Songsaengnim[4] sebagai penanggungjawab atas pertukaran pelajar ini. Ada beberapa dokumen yang harus aku selesaikan. Satu map besar dokumen sudah kusiapkan. Ye-Jin menyuruhku untuk berangkat sendiri. Dia langsung menuju kelas. Katanya ada tugas yang belum ia selesaikan gara-gara mengantarku berkeliling kemarin. Aku harus terbiasa dengan sindiran pedasnya mulai sekarang.

Tinggal melewati dua ruangan lagi aku akan sampai. Tanganku sudah akan terayun untuk mengetuk pintu sebelum suara dengan nada agak tinggi menahanku.

“Tunggu Sang-Woo ayah belum selesai bicara!”

“Berhenti memanggil dirimu sendiri sebagai ayah. Ayahku sudah meninggal dan jangan mengaturku lagi seperti kau mengatur ibu. Aku bukan kerbau yang akan selalu menurut karena dicocok hidungnya.” Aku membeku di tempat. Apa itu adalah pertengkaran ayah dan anak. Mengapa kasar sekali bahasanya.

Belum sempat keterkejutanku berakhir pintu tiba-tiba saja terjerembab terbuka dengan kasar. Aku sampai melompat kebelakang saking kagetnya. Seseorang dengan tinggi menjulang keluar dari ruangan Kim Seongsaengnim tergesa-gesa. Aku belum sempat melihat wajahnya karena dia menabrakku dan berlalu begitu saja. Untung aku tidak terjatuh.

Pria itu benar-benar tidak sopan. Membentak ayahnya sendiri dan setelah itu menabrak orang lain tanpa mau meminta maaf. Suatu saat dia pasti akan mendapat masalah dengan kelakuannya itu.

Aku sudah akan masuk ruangan Kim Seongsaengnim ketika kurasakan kakiku menginjak sesuatu. Aku meliat sebuah pensil hitam di lantai. Aku mengambilnya dan menemukan ukiran nama Sang-Woo dalam tulisa Hangeul[5] di sana. Ini pasti pensil mahal milik pria tanpa sopan santun itu. Aku akan menitipkanya pada Kim Seongsaengnim agar diberikan pada pria tanpa sopan santun itu. Apa ini tak masalah, mungkin hubungan mereka tidak berjalan dengan baik. Atau aku memberikannya nanti saja kalau bertemu lagi. Kurasa dia akan sering ke kampus karena dia anak Kim Seongsaengnim.

****

Ye-Jin benar-benar tega menyuruhku pulang sendirian sementara dia akan berkencan dengan kekasihnya. Dari pada aku di rumah sendiri lebih baik aku jalan-jalan saja dulu. Atau mungkin aku mencari pekerjaan saja agar tidak selalu menyusahkan Ye-Jin, si gadis dengan mulut seperti bebek itu. Baiklah mulai sekarang aku akan memanggilnya dengan sebutan bebek.

Aku merogoh dompetku di dalam tas. Kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang berisi list tempat-tempat yang wajib kukunjungi saat di Korea lengkap dengan alamatnya.

Diantara beberapa list itu aku menemukan tempat yang cocok untuk mencari pekerjaan sekaligus Fangirling. Mouse Rabit adalah kafe milik Yesung Superjunior. Kalau aku bisa diterima bekerja disana mungkin aku akan setiap hari bertemu dengan Yesung Oppa[6].

Aku duduk disalah satu meja kafe dengan Cappucino milk shake buatan ibu Yesung Oppa. Aku sungguh beruntung hari ini datang ke Mouse Rabbit hingga bisa bertemu dengan keluarga Yesung Oppa termasuk dengan Jong-Jin. Ibu Yesung Oppa sangat ramah, dia memberiku formulir untuk kuisi jika ingin melamar pekerjaan disini. Beliau bilang banyak yang ingin bekerja, aku harus sabar mengantri. Aku menambahkan nomor teleponku di pojok kanan atas. Semua sudah terisi termasuk dengan motovasi melamar pekerjaan disini.

Aku menulis bahwa aku adalah Fans Yesung Oppa dan tidak punya uang untuk menonton konsernya jadi setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya jika aku bekerja disini. Ibu Yesung Oppa pasti menertawakan jawabanku.

Aku tidak berharap terlalu banyak. Mungkin ditempat lain peluangnya akan lebih mudah. Setidaknya aku sudah mencoba.

Aku menyesap minuman terkhirku sebelum beranjak dan memberikan formulirnya kemudian pergi. Ye-Jin pasti tak akan percaya jika kuceritakan apa yang sudah aku lakukan hari ini. Biar saja, dia pikir aku tak akan bisa melakukan apa-apa tanpa dirinya.

****

Bunga matahari yang terlihat sangat cantik saat senja hari. Seseorang pernah mengatakan bahwa aku mirip dengan bunga matahari. Kokoh dan kuat, tidak pernah bersembunyi dari terik matahari. Bahkan satu-satunya hal yang masih bisa bersinar saat terang. Kau tahu bahkan bintang saja hanya bisa bersinar saat gelap.

Tapi dia lupa akan satu hal. Bunga matahari tak pernah melepaskan pandangannya dari matahati. Kau tahu kau mirip matahari yang dirindukan bunga matahari.

Aku naik ke dalam bis dengan tergesa. Hari sudah beranjak senja. Aku tak mau mendapat omelan dari Ye-jin lagi. Dan lagipula aku bukan gadis yang tidak tahu diri. Setidaknya aku harus membantu Ye-Jin menyiapkan makan malam kami. Dia bilang hari ini dia akan masak untuk makan malam. Beli diluar tidak baik untuk kesehatan dan titik poinnya menurut bebek itu adalah pemborosan.

Aku tak mau memikirkan lagi tentang Ye-Jin yang akan mengomel, lebih baik aku duduk. Kebetulan bis sedang kosong jadi aku memilih tiga kursi dari belakang. Dari sini aku bisa melihat pemandangan senja yang indah melalui kaca jendela.

Aku mengeluarkan ponselku dan memasang Headset. Tiga puluh menit perjalanan akan aku habiskan dengan menikmati beberapa lagu Ballad. Aku adalah penggila Ballad. Teman-temanku di Indonesia sempat menjulukiku miss mellow. Tapi aku senang dengan itu.

Seseorang seperti duduk disampingku sesaat setelah bus berhenti di sebuah halte. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku lebih memilih menikmati lagu dan pemandangan indah dihadapanku.

Aku benar-benar bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan ini. Aku tak pernah menyangka aku bisa sampai disini. Bertemu Ye-Jin, kuliah, dan mungkin bekerja di tempat Yesung Oppa. Dan doa terbesarku adalah bisa bertemu dengan orang itu setelah delapan tahun kami berpisah. Apa dia masih mengenaliku. Apa wajahnya akan berubah. Apa tinggi badannya akan seperti aktor-aktor korea yang begitu menjulang. Entahlah. Jika membayangkannya kepercayaandiriku merosot hingga titik terbawah.

Tiba-tiba aku teringat dengan pensil yang kutemukan tadi pagi. Aku mengeluarkannya dari tas dan kembali memperhatikan ukiran nama Sang-Woo. Sepertinya ini diukir sendiri karena tulisannya yang tidak begitu rapi. Aku sangat penasaran dengan pria tanpa sopan santun pemilik pensil ini. Apa dia akan membentakku seperti dia membentak ayahnya. Ya Tuhan, tolong lindungi aku.

CTAK

Tiba-tiba ada yang merebut pensil itu dengan kasar dari tanganku hingga membuatku terlonjak kaget. Ya Tuhan apa Ahjussi[7] mesum yang duduk di sampingku saat ini.

“Ya! Buakankah ini pensilku. Bagaimana bisa ada padamu?”

Aku menoleh perlahan kesamping untuk melihat orang yang telah mengambil pensil pria tanpa sopan santun. Seketika jantungku berhenti berdetak selama satu detik. Ye-Jin salah, tentang kemungkinan yang dikatankanya. Itu bukan nol koma titik-titik. Tuhan menjawab doaku.

“Ya! Aku berbicara padamu. Apa kau mencurinya? Kapan kau mengambilnya?”

Aku tak bisa menjawab apa pun tuduhannya. Kenyataan bahwa dia tak bisa mengenaliku terasa membungkan mulutku. Airmataku tanpa aku sadari menetes.

Kau menyakitiku lagi kak Fajar…

 

  1. ~ah merupakan imbuhan untuk panggilan akrab seseorang
  2. Gomawoyo berarti terimakasih
  3. Eomma adalah ibu
  4. Sengsaengnim adalah panggilan untuk seorang guru
  5. Hangeul adalah huruf korea
  6. Ahjussi adalah sebutan paman

 

The Story Only I Didn’t Know [part 1]

Cast: Yoon Hee-Sha Lee Donghae Cho Kyuhyun Yoon Da-Yeon

 

The Story Only I Didn’t Know

 

“….Ibu dulu adalah seorang Fans yang menganggap idola adalah segalanya. Pernah mendengar istilah cinta sepihak? Ibu pikir bahwa hal itu terlalu indah untuk menggambarkan keadaan Ibu waktu itu. Mereka mencintai karena mereka tahu orang itu nyata berada dalam jangkauan mereka,mampu mempesona mereka. Tapi Ibu tak pernah tahu secara langsung bagaimana ia, seperti apa dirinya, sifatnya, kebiasaannya kecuali dari beberapa media yang Ibu tahu pasti bahwa itu tidaklah benar 100%… Ibu hanya tahu bagaimana Ibu harus mencintainya, bagaimana hidup Ibu untuknya dan bagaimana setiap apa yang Ibu lakukan selalu karenanya…

Semua orang mencibir Ibu, mengatakan bahwa Ibu sudah gila. Ibu tak marah karena memang mereka tak tahu bagaimana indahanya perasaan yang Ibu miliki. Mencitai begitu indah, begitu bahagia, bahkan luka pun bisa terasa menyejukkan. Dia adalah cinta pertama dan juga cinta terakhir Ibu… dan karena dia pula kau lahir ke dunia ini, menjadi kenyataan paling indah yang pernah Ibu rasakan.”

….

Malam itu hujan turun. Angin bertiup membawa butiran kecil air hingga jatuh membasahi bumi, membuat bunga-bunga Hee-Sha akan merekah gembira keesokan harinya. Tapi tidak bagi gadis kecil itu. Ia seperti diingatkan pada kejadian beberapa minggu yang lalu.

Eomma pergi, dalam keadaan hujan juga-sama seperti saat ini. Hee-Sha tahu Eomma tak akan kembali lagi. Sepuluh tahun nafasnya berhembus sudah cukup membuatnya mengerti bahwa Tuhan sudah mengambil Eomma dari sisinya.

Sesuatu yang sama seperti hujan mengalir membasahi pipi tembam miliknya. Hee-Sha menggigit bibir pucatnya tanpa berusaha mengusap buliran airmata itu. Tangannya terangkat hingga ujung jari telunjuknya menyentuh kaca jendela kamar yang berembun. Ia membuat coretan kecil berbentuk hati di sana.

‘Eomma, Bogoshippoyo…’

***

Hee-Sha menoleh ketika mendengar pintu kamarnya berderit terbuka. Buru-buru ia mengusap pipinya yang basah. Bibir mungil itu terangkat membalas senyuman menawan seorang pria tampan yang baru saja melangkah memasuki kamarnya.

“Kenapa belum tidur, sayang?” pria itu membelai lembut pucuk kepalanya.

“Hee-Sha belum mengantuk, Paman tampan.”

Hee-Sha tersenyum lebar. Sangat berbeda dengan ekspresinya beberapa detik yang lalu. Gadis itu berpikir ia akan semakin menyusahkan paman tampannya jika ia masih menampakkan wajah sedih.

“Sudah jam sebelas malam, sayang…” paman tampan berjongkok di depannya hingga tinggi mereka sama, “hey, dan kau sudah berjanji akan memanggil Appa mulai sekarang, kau tidak melupakannya kan putri cantik?”

Hee-Sha terkekeh melihat rajukan paman tampanya, “Lebih nyaman memanggil ‘paman tampan’, karena Paman memang sangat tampan, seperti pangeran!”

Bukan seperti itu alasanya, Hee-Sha hanya merasa asing dengan kata ‘Appa’. Lidahnya selalu terasa kaku jika ingin mengucapkan kata itu. Sesuatu seperti mengikatnya.

“Apa paman tak sebaik yang Hee-Sha inginkan hingga tak bisa memanggil Appa?”

Hee-Sha menggeleng dan memeluk pria di depannya dengan erat, “Annio… Aku menyayangimu Appa….”

***

Kyuhyun merapikan poni Hee-Sha, “Ingat, setelah pulang nanti berikan alamat ini pada paman supir taksi. Appa menunggumu di kantor. Setelah itu kita makan malam bersama. Kau mengerti putri cantik?” Hee-Sha mengangguk ketika paman tampan yang sekarang sudah ia panggil Appa menggantungkan sebuah ponsel di lehernya, “Kalau terjadi sesuatu hubungi Appa segera, Oke?”

Hee-Sha tersenyum memberikan sebuah kecupan pipi pada Appa-nya. “Gomawo Appa…” ia mengerling sebelum membalik tubuhnya dan meninggalkan Kyuhyun untuk berlari memasuki sekolahnya, “dan ponsel barunya sangat keren!” teriak Hee-Sha mengacungkan kedua jempolnya tanpa berbalik.

Kyuhyun tersenyum, akhirnya ia bisa kembali melihat senyum malaikat kecilnya. Seminggu sudah berlalu dengan dilingkupi duka. Wanita itu pergi, wanita yang sangat Kyuhyun cintai. Wanita yang mampu membuatnya tak bisa berfikir secara logis. Mengabaikan gadis-gadis yang jauh lebih sempurna hanya untuk menatap wanita itu. Dunianya seakan dikuasai wanita itu.

Kyuhyun berdiri dan melangkah menuju mobinya yang ia parkir di seberang jalan. Senyum tulus yang untuk pertama kalinya sejak seminggu yang lalu tersungging di bibirnya. Setidaknya ia masih memiliki Hee-Sha, kendati wanita itu memutuskan untuk menyerah dan meninggalkan mereka.

****

Hee-Sha membuat dirinya seakan acuh saat teman-teman di sepanjang koridor sekolah menatapnya dengan pandangan yang terasa begitu mengintimidasi, kendati sebenarnya ia merasa begitu terganggu. Ia tetap berjalan dengan santai menuju ruang kelasnya yang sudah ia tinggalkan selama seminggu terakhir ini.

“Dia sama saja dengan ibunya, suka sekali memanfaatkan orang lain. Belum seminggu ibunya meninggal tapi ia sudah bersenang-senang dengan simpanan ibunya. Lihat ponsel barunya itu? Apa dia berniat pamer? Cih!”

Hee-Sha menghiraukan begitu saja bisikan-bisikan yang menurutnya bodoh itu. Mereka tak tahu apa pun dan berlagak sok tahu segalanya. Hee-Sha benci tipe orang yang seperti itu. Suka bergunjing tanpa dasar.

Hee-Sha merasakan sesuatu menyumpal kedua lubang telinganya dengan tiba-tiba hingga ia menolehkan kepala dan melihat Jong In sudah memamerkan senyum jenakanya.

“Jangan mengagetkanku!” protesnya.

“Aku tak berniat mengagetkanmu. Apa lagunya bagus?”

Hee-Sha memperbaiki letak Headset di telinganya hingga sebuah alunan musik rock yang berisik terdengar lebih jelas. Hee-Sha tersenyum, “Setidaknya tidak lebih buruk dari ocehan Ryu-Jin~ie….”

“Aku tahu dia sangat berisik. Kau sudah sarapan?”

“Belum, Appa menyiapkan bekal di tasku.”

Appa?” Jong In membeo. Ia tahu Hee-Sha tak memiliki Appa. Sedangkan gadis kecil itu hanya tersenyum samar, “Apa Da-Yeon nuna menitipkan seorang Appa padamu?” pria kecil itu sudah terbiasa memanggil ibu Hee-Sha dengan sebutan Nuna. Menurutnya Ibu Hee-Sha terlalu muda untuk dipanggil sebagai Ahjuma.

Hee-Sha gemas setengah mati melihat wajah Jong In yang kian penasaran, “Paman tampan.”

Mwo? Jadi sekarang kau memanggil paman tampan dengan panggilan Appa?”

“Iya… Ayo kutemani sarapan!”

****

Jam sekolah sudah berakhir, Hee-Sha buru-buru menuruni anak tangga. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah agar tak bertemu Ryu-Jin dan mendengar ocehan tak bermutunya. Entah apa yang diinginkan temannya yang satu itu, Hee-Sha juga tak mengerti mengapa gadis itu begitu ambil pusing dengan kehidupan Hee-Sha, toh apa pun yang dialami Hee-Sha ia tak akan dirugikan kan?

Hee-Sha langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat saat ia sudah sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia membuka pintu depan dan masuk. Ia lebih senang duduk di depan karena dengan begitu ia tak akan takut salah alamat, ia bisa berbincang-bincang dengan paman sopir.

Hee-Sha membuka resleting depan tasnya, merogoh dan mengeluarkan sebuah kertas dari dalamnya-kertas yang tadi diberikan Appa yang berisi alamat baru tempatnya bekerja. Hee-Sha membaca alamat itu kemudian memberitahukannya pada paman sopir. Ia hanya ingin memastikan bahwa ia sampai di tempat yang seharusnya.

“Terimakasih, Paman.” Hee-Sha membungkuk sebelum berbalik dan meninggalkan Taksi yang tadi ditumpanginya. Kini ia sudah berdiri di depan sebuah gedung mewah berlantai-entah berapa Hee-Sha juga tak tahu yang jelas gedung itu sangat tinggi. Appa pasti orang yang hebat hingga bisa diterima bekerja di tempat yang sekeren ini.

Sebelum Hee-Sha sempat mengulurkan tangan untuk membuka pintu kaca besar itu, pintu itu sudah terbuka sendiri. Hee-Sha takjub bahkan pintunya pun otomatis. Hee-Sha memang sudah sering menjumpai yang seperti ini, tapi ia tak menyangka bahwa Ayah barunya ternyata bekerja di tempat yang begitu keren. Huh~ sudah terhitung dua kali Hee-Sha mengatakan tempat ini keren, apa perlu Hee-Sha mengucapkannya lagi agar kesan keren itu benar-benar sampai pada kalian.

Hee-Sha disambut seorang wanita catik di belakang meja besar begitu ia melangkah masuk. Wanita itu tersenyum ramah padanya.

“Mau bertemu dengan siapa adik kecil?” Tanyanya pada Hee-Sha.

“Aku ingin bertemu dengan Ayahku, namanya Cho Kyuhyun. Ia bilang ia bekerja sebagai Arsitek di perusahaan ini, apa nona tahu dimana ruangannya?” Hee-Sha berjalan mendekati meja besar itu hingga ia bisa melihat wanita cantik yang sesaat menampakkan raut terkejut. Apa ada yang salah dengan perkataan Hee-Sha?

“Cho Kyuhyun~ssi sudah memiliki anak?” gumam wanita cantik itu yang masih bisa didengar oleh telinga Hee-Sha. Oh~ Hee-Sha jadi mengerti dengan reaksi spontan yang wanita itu perlihatkan tadi. Ia pasti tak menyangka pria semuda Cho Kyuhyun sudah memiliki anak sebesar dirinya.

“Aku bukan anak kandungnya, ia sangat baik makanya memperbolehkanku memanggilnya dengan sebutan itu…” Hee-Sha tersenyum tulus, “bisa kau beritahu aku dimana ruangan Appa, nona?”

Hee-Sha melangkahkan kaki kecilnya menyusuri lantai lima. Dia sudah menaiki lift seperti yang dikatakan nona resepsionis. Dia juga bilang ruangan Ayahnya ada di deretan ke tujuh setelah keluar dari lift. Hee-Sha akhirnya bisa menemukan ruangan itu. Gadis kecil itu masuk dan memutar kepala mencari Ayahnya.

Tidak ada sosok itu di dalam sini. Ia hanya melihat dua orang paman sedang bercanda sambil makan cemilan hingga tak menyadari kehadirannya.

Hee-Sha mendekat untuk bertanya, “Paman apa kau mengenal Cho Kyuhyun? Nona resepsionis bilang ruangannya ada disini.”

Kedua paman itu sedikit terkejut melihat Hee-Sha. Mereka meletakkan cemilanya dan mendekat pada Hee-Sha dengan raut wajah yang bingung.

“Adik kecil untuk apa kau mencari Kyuhyun?”

Appa bilang sepulang sekolah aku harus kemari karena ia tak mau aku sendirian di rumah. Paman tahu dimana Appa sekarang?”

Appa!” kedua paman itu berteriak bersamaan.

“Paman tak usah kaget. Aku bukan anak kandungnya, dia hanya orang yang terlalu baik yang mau merawatku.” Hee-Sha menjelaskan dengan senyum manisnya. Appa selalu bilang kalau senyum Hee-Sha mengingatkannya pada seseorang. Hee-Sha bukan tak menyadari siapa yang dimaksud dengan seseorang oleh Ayahnya. Hanya saja Hee-Sha sudah merasa cukup dengan kehadiran Ayahnya yang saat ini.

 ****

Saat pertama mataku menangkap bayangan dirimu, yang kutahu syarafku tiba-tiba saja tak berfungsi, tubuhku seakan kaku. Saat itu aku sadar bahwa aku butuh pelumas untuk sendi-sendi tulangku.

Ini aneh, mendadak seperti kerikil diantara ribuan cerry, seperti bulan sabit diantara jutaan bintang di langit. Hatiku penuh entah oleh apa. Harusnya aku tahu apa yang terjadi pada diriku tapi yang kurasakan justru begitu abstrak.

Dalam keterpakuanku, otak yang semula menyimpan banyak identitas tiba-tiba hanya tersisa satu nama. Tolong jelaskan apa yang terjadi padaku. Ini terasa lebih rumit dari apa yang aku bayangkan tentang cinta. Tersesat. Jauh ke dalam labirin tak berpintu.

Kyuhyun mengepalkan dengan kuat buku-buku jarinya. Sebisa mungkin menahan emosi yang serasa ingin meledak saat ini juga. Susana ramai kafetaria terasa mencekam baginya.

Pria di depannya. Datang setelah ia yakin gadis kecil itu perlahan menerima kehadirannya. Kyuhyun ingin menghantamkan bogem mentahnya. Menghancurkan wajah yang secara tidak langsung mengingatkannya pada gadis kecil yang begitu ia kasihi. Senyumnya dan mata sayu itu begitu sama.

Kyuhyun mengakui bahwa ada perasaan iri menelusup di sela-sela hatinya yang berlubang. Pria ini begitu beruntung. Ia mendapatkan cinta dari wanita yang dicintainya dengan sepenuh hati. Meninggalkan wanita itu setelah membuatnya hancur hingga tak tersisa.

Dan sekarang, dia menagih haknya yang bahkan tidak lebih pantas hanya sekedar untuk diingatnya.

“Kyuhyun~ssi kau tidak boleh seperti ini. Bagaimana pun juga Hee-Sha adalah anakku. Aku berhak untuk memilikinya.”

“Kau tak berhak atas apa pun itu.” Kyuhyun menggeram tertahan. “Tidak setelah kau menelantarkan mereka. Tidak, kau bukan hanya telah menelantarkan mereka. Kau bahkan tak pernah menganggap mereka ada.”

“Kau melupakan fakta bahwa Da-Yeon tak pernah mengatakan apa pun tentang ini padaku.”

“Tidak Lee Donghae~ssi. Kau bahkan tidak benar-benar ingin tahu. Kau mencampakkan Da-Yeon setelah merusaknya.”

Lee Donghae. Pria itu sudah tak sanggup mengatakan apa pun. Tak bisa dipungkiri, perkataan kyuhyun benar. Ia tak menghiraukan gadis yang bahkan rela melakukan apa pun untuknya. Dia begitu jahat.

Tapi apakah tak ada kesempatan untuknya menebus kesalah dengan memulai untuk menjadi ayah yang baik. Dia tahu saat ini Hee-Sha pasti membutuhkan ayah kandungannya. Terlepas dari kyuhyun yang pasti bisa merawatnya dengan sangat baik.

“Kyuhyun~ssi kumohon. Beri aku kesempatan untuk bertemu dengan anakku.”

Bukannya mendengar permohonan itu. Justeru dengan kasar ia beranjak dari tempat duduknya berniat untuk meninggalkan tempat ini.

“Kau sudah kehilangan kesempatan itu bertahun-tahun yang lalu Donghae~ssi.”

 

To be Continue

SOMEDAY

SOMEDAY

Author : Azmi

Cast :

  • Lee Donghae
  • Im Yoon Hee

Genre :

Rating : PG 13

Akhir pekan merupakan hari yang paling menyenangkan. Tak ada bangun pagi untuk berangkat sekolah, tak ada terburu-buru karena takut terlambat. Minggu pagi memang waktu yang sangat tepat untuk bermalas-malasan di atas tempat tidur. Meneruskan mimpi yang sempat tertunda, menikmati hangatnya selimut tebal kesayangan ditambah dengan hangat sinar mentari yang sayup-sayup mengintip di sela gorden yang sedikit tersingkap.

Namun tidak bagi Yoon Hee, gadis yang sebentar lagi genap berusia 16 tahun itu lebih memilih keluar rumah. Menikmati udara pagi dan berlatih untuk turnamen musim panas beberapa minggu lagi. Tak ada waktu untuk bersantai bagi gadis itu kalau ia masih menginginkan tropi juara satu turnamen lari interhigh yang akan ia ikuti di Seoul nanti.

Kakinya selalu terasa gatal kalau tak dipakai untuk berlari. Lari adalah segalanya bagi Yoon Hee. Kalau ia mau hidup maka ia harus berlari. Kalau hanya dengan berjalan sama saja dengan memperlambat dirinya untuk meraih apa yang menjadi tujuan hidupnya. Itulah sebabnya semua orang yang menganal Yoon Hee memberikan julukan si jaguar yang penuh semangat padanya. Yoon Hee selalu bersemangat dalam melakukan apa pun, ia gadis yang ceria.

Senyum Yoon Hee terkembang sempurna begitu mata bulatnya menangkap siluet seseorang. Satu lagi moto dalam hidup Yoon Hee, sambil menyelam minum air. Sebentar ia mengelap keringat yang mengucur di dahinya dengan handuk kecil kemudian menghampiri seseorang yang membuatnya berkali lipat lebih semangat. Membawa tubuh lelahnya ikut terduduk di tempat kosong di bangku taman itu.

Matanya tak berkedip menikmati wajah yang tengah terpejam itu, tampak sangat menikmati apa yang menjadi mainan di pangkuannya. Sebuah gitar akustik mengeluarkan suara yang tertata indah seiring dengan petikan jari pria itu, membuat siapa pun terpesona dengan nada itu-setidaknya bagi Yoon Hee.

Yoon Hee terhanyut dengan alunan musik akustik itu, dipadukan dengan suara lembut khas seorang Lee Donghae-pujaan hati Yoon Hee-hingga membuat gadis itu tanpa sadar ikut memejamkan matanya. Dalam benak Yoon Hee terlukis siluet Lee Donghae yang tengah berlutut dengan membawa setangkai mawar merah untuknya. Pangeran dengan kuda putih  tengah melamar dirinya, menjemputnya untuk ikut tinggal di istana di atas bukit.

Betapa bahagianya Yoon Hee seandainya hal itu menjadi kenyataan, namun sayangnya suara petikan gitar dan senandung Lee Donghae yang tak terdengar lagi membuatnya bangun dari angan-angan liarnya.

Dapat ia lihat wajah terkejut Donghae saat mendapati dirinya duduk di sampingnya. Yoon Hee memberikan senyum termanisnya. “Apakah sudah selesai? Sayang sekali, aku masih ingin mendengarkan suara Donghae sunbae[1] yang indah itu!”

“Sejak kapan di sini?” tanya Donghae canggung. Entah mengapa Donghae kini merasa gugup saat berada di dekat gadis itu. Apa lagi saat mengingat pernyataan cinta gadis itu tempo hari saat jam istirahat makan siang di kantin. Jujur itu pertama kalinya bagi Donghae mendapat pernyataan cinta dari seorang gadis secara langsung.

“Sejak tadi! Aku sangat menikmati nyanyian Donghae sunbae lho!” senyum manis masih senantiasa terkembang menghiasi wajah Yoon Hee. Siapa pun tahu bagaimana perasaan Yoon Hee pada Lee Donghae, termasuk seluruh teman-temannya di sekolah. Yoon Hee gadis yang selalu menempel pada kakak kelasnya itu akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya tempo hari. Tak tanggung-tanggung, ia melakukannya di depan semua orang saat jam istirahat di kantin yang sedang ramai-ramainya.

Donghae yang masih bingung harus menjawab apa, memutuskan untuk diam saja. Yoon Hee yang memang selalu berpikiran positif mengartikan diamnya pria itu karena membutuhkan waktu untuk memutuskan. Yoon Hee tak pernah berfikir kalau seandainya cintanya di tolak, ia selalu optimis. Lagi pula bagi Yoon Hee, diterima atau pun ditolak bukankah sama saja. Yang penting ia sudah jujur pada dirinya sendiri dan tentu saja pada Donghae. Dari pada nanti didahului gadis lain dan menyesal, bukankah lebih baik ia maju lebih dulu. Ia sangat berharap Donghae mau menerima cintanya.

Donghae tampak menarik nafas sejenak kemudian menurunkan gitar dari pangkuannya dan menyenderkannya di bangku. Ia menatap ke depan-ke hamparan dedaunan sisa musim gugur beberapa hari yang lalu.

“Yoon Hee-ya, Kau tahu ‘kan sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan?” Yoon Hee mengangguk menanggapi gumaman Donghae, “Kau juga tahu ‘kan kalau Appa[2] sedang sakit?” Yoon Hee kembali mengangguk. Ia tahu Ayah Donghae memang tengah sakit, beberapa hari yang lalu beliau baru saja keluar dari rumah sakit. Memang sih ia juga sedih melihat kondisi ayah pria yang disayanginya itu dalam keadaa tak baik, Tapi Yoon Hee bingung, apa hubungannya antara ayah Donghae yang tengah sakit dengan dirinya yang tengah menikmati musik Donghae.

Yoon Hee masih menatap Donghae bingung ketika wajah tampan itu menoleh-balas menatap dirinya. “Yoon Hee-ya, mengenai pernyataan cintamu tempo hari, aku tahu kau sangat menyukaiku, tapi aku tak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu-pacaran, aku harus belajar dengan giat karena ujian kelulusan semakin dekat, aku juga harus bekerja paruh waktu untuk membantu meringankan biaya pengobatan Appa. Jadi aku minta maaf, aku…”

“Ahh, Donghae sunbae, maaf aku harus berlatih lagi. Turnamen sudah dekat!” sela Yoon Hee memotong ucapan Donghae, ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan itu. Dan saat ini Yoon Hee tak ingin mendengar kata penolakan. Turnamen lari sudah di depan mata, ia tak mau hal itu mengganggu konsentrasinya. Lebih baik tetap berharap dan menjadikannya sumber semangat. “Dan mengenai pernyataan cintaku itu, jawabnya nanti saja kalau aku sudah pulang dan membawa tropi juara. Donghae sunbae berikan semangat untukku ya!!”

“Tapi Yoon Hee-ya…”

“Ahh~ dan ini undangan ulang tahunku, kau harus datang dan berikan hadiah terindah untukku!”

Yoon Hee berlari sebelum Donghae sempat mengeluarkan suaranya. Ia menatap kartu merah jambu yang kini berada di tangannya dan tersenyum kecil.

****

Tidak tahu mengapa suasana sarapan pagi ini terasa begitu aneh. Eomma[3] yang biasanya mengoceh ini dan itu, kini tampak diam-sibuk mengaduk sup tahu tanpa sepatah kata pun. Mata Yoon Hee beralih ke kanan-di mana ayahnya tengah termenung mengabaikan koran pagi yang biasa menjadi topik hangat perbincangan. Tak ada komentar apapun dari bibir tua itu, bahkan ketika Yoon Hee melirik koran pagi itu yang ternyata banyak menyajikan berita yang biasanya begitu menarik bagi Appa.

Yoon Hee bangkit menghampiri Ibunya yang tengah hamil tua, seingat Yoon Hee usia kandungan adiknya kini menginjak bulan ke delapan.

“Eomma gwaencanayeo[4]?” tanya Yoon Hee begitu melihat ibunya yang kini tampak pucat. Bibir yang biasaya merah merona itu kini tampak pucat dan pecah-pecah. Apakah Yoon Hee melewatkan sesuatu akhir-akhir ini, seingatnya semua baik-baik saja.

Yoon Hee masih menatap Ibunya khawatir ketika sampai beberapa detik tak mendapatkan sahutan sama sekali. Tangan Yoon Hee terangkat untuk menepuk pundak Ibunya dengan halus, “Tak baik memasak dengan menalamun, nanti masakannya gosong. Eomma sedang memikirkan apa?”

Ibu Yoon Hee sempat terkesiap sebelum akhirnya mampu mengontrol kembali emosinya. Ia tersenyum kecil melihat putrinya yang mengerutkan kening dengan ekspresi khawatir. Ia menggusak sesaat puncak kepala Yoon Hee membuat gadis itu memberenggut sebal. Ia membutuhkan waktu lama untuk menata rambutnya dan sekarang jadi berantakan lagi.

“Eomma baik-baik saja!” ucapnya dengan senyum hangat seperti biasa, “Lagipula selama hampir seumur hidup Eomma belum pernah ada yang bisa menggosongkan sup, kau tahu?”

Yoon Hee tertawa kecil menyadari kebodohanya. Ia tahu ia sama sekali tak bisa memasak, tapi Yoon Hee sendiri tak mengira bahwa ia sebodoh itu. Mana ada sup yang gosong, kecuali kuahnya yang menyusut. Tapi tunggu, kalau kuahnya menyusut sampai habis, bisa saja kan supnya gosong. Ahh~ entahlah, Yoon Hee tak ingin ambil pusing tentang hal itu.

“Eomma terlihat pucat, apa Eomma sakit? Apa terjadi sesuatu dengan uri Dongsaeng[4]?” tanyanya khawatir.

 “Eomma tak apa, Gogjeongma[6]!” Ibu Yoon Hee kembali memberikan senyum hangatnya, tapi kali ini entah mengapa Yoon Hee melihat senyuman itu tak sehangat biasanya, “Kajja[7] kita sarapan, supnya sudah matang!”

****

Angin musim panas yang berhembus serasa meledakkan kedua pipi Yoon Hee dengan hangat, bayangan wajah Donghae yang tengah terpejam menikmati lagu muncul di benaknya. Bekal makan siangnya ikut melambai saat ia malangkah menyusuri koridor kelas tiga yang ramai karena jam istirat. Ia sesekali menggumamkan lagu kesukaan Donghae yang sudah sangat dihafalnya di luar kepala. Andai saja ia pandai bernyanyi atau bermain musik, mungkin sudah dari dulu ia akan meminta Donghae untuk berduet. Setidaknya untuk menemani latihan agar lebih menyenangkan. Yoon Hee terkikik sendiri membayangkan hal itu.

Yoon Hee langsung masuk ke dalam kelas Donghae begitu ia sampai. Ia berniat memberikan bekal makan siangnya, mengingat ia harus pulang lebih cepat hari ini. Besok sudah hari pertandingan dan pelatih Kim bersama atlet lain akan berangkat ke Seoul nanti termasuk Yoon Hee. Sekalian Yoon Hee ingin berpamitan pada pria yang hampir satu tahun ini mengisi hatinya.

“Yoon Hee-ssi, mencari Donghae?” Yoon Hee menoleh, mendapati seorang gadis bertanya ramah padanya. Senyum gadis itu begitu manis, membuat siapa pun terasa ingin ikut menarik bibir ke atas saat melihatnya.

Yoon Hee mengangguk semangat lengkap dengan senyum mengembang, “Nde Sunbae[8], Apa Jessica Sunbae melihatnya?”

Gadis itu menggeleng ringan melihat Yoon Hee yang selalu tampak antusias pada teman sekelasnya itu. Tak ada yang tak mengenal Yoon Hee, hampir semua siswa di SMA Mokpo mengenalnya. Gadis di tahun pertama yang mengejar seniornya, melakukan apa pun demi bisa dekat dengan pujaan hatinya.

“Kulihat tadi ia duduk-duduk di taman belakang!” jawab Jessica ramah, “Ngomong-ngomong bagaimana jawaban Donghae atas pernyataan cintamu tempo hari? Kalian sudah berpacaran, eoh? Ayo ceritakan padaku, kalian sudah pergi kencan kemana saja?”

Sontak kedua pipi Yoon Hee merona, “Ahh~ Sunbae jangan menggodaku!” ujar Yoon Hee malu-malu tapi detik berikutnya wajahnya berubah sayu menyadari bahwa Donghae bahkan sama sekali belum membarikan jawaban apa pun. Hampir sih, tapi kalau penolakan yang didapat, Yoon Hee lebih memilih untuk menunggu saja kalau itu bisa merubah jawaban Donghae. “Bahkan dia belum membarikan jawabanya…” ucapnya lesu.

“Apa? Bagaimana bisa?!”

Yoon Hee menghela nafas. Begitu lebih baik dari pada harus kecewa, “Aku permisi dulu Jessica Sunbae, kalau aku sudah mendapatkan jawabannya aku janji akan memberitahumu, jangan khawatir! Annyeong!” Yoon Hee melempar senyum sebelum berbalik meninggalkan kelas itu untuk menemui Donghae di taman belakang.

****

Hidup yang hanya satu kali ini terasa begitu berat bagi Donghae yang nyatanya masih duduk di bangku SMA. Ia melihat orang lain berjalan selangkah serasa melewati beberapa kilo sedangkan ketika ia mengayuh sepedanya cepat ia seperti tengah merangkak di atas tanjakan. Donghae tak pernah berpikir bahwa ia ingin seperti orang lain yang begitu mudah mendapatkan apapun, nyatanya di hadapan orang lain ia bisa membuat mereka iri dengan apa yang tampak darinya. Tapi bukankah apa yang tampak selalu menutupi apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya. Walau seandainya ia menampakkan apa yang tersembunyi itu, ia yakin tak akan mengubah apapun. Ayahnya tak akan serta merta mendapatkan biaya untuk oprasi, Kakaknya tak akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan atau ia akan diterima di suatu perusahaan rekaman seperti cita-citanya selama ini. Tidak, itu tak membantu apa pun. Mereka hanya akan memandangnya iba ketika melihat dirinya menangis, menampakkan simpati dan setelah itu mereka akan pergi dan melupakan dirinya.

Donghae menghembuskan nafasnya, menatap langit biru luas yang polos. Seperti tak ada apa pun di sana, benarkah langit saat ini dalam keadaan kosong? Kemana bintang-bintang yang biasanya paling semangat menghiasi langit? Kemana awan yang biasanya tampak ceria berarak kesana-kemari? Hanya matahari yang kini mampu tertangkap oleh mata Donghae, walau ia tak bisa sepenuhnya melihat matahari. Ia terlalu tangguh untuk orang biasa seperti Donghae.

Tangan kanan Donghae yang masih terlipat di bawah kepalanya sebagai bantal membuatnya menggunakan tangan kiri untuk melempar sebuah kaset sejauh yang ia bisa. Hingga sebuah bunyi Tuk kecil terdengar menandakan bahwa benda kotak kecil yang berisi rekaman suaranya itu ini telah terjatuh entah kemana, Donghae tak peduli. Ia tersenyum kecil sebelum memejamkan matanya. Ia sudah memutuskan bahwa ia akan menghirinya mulai saat ini. Mungkin bukan jalan Donghae untuk menjadi seorang penyanyi. Penolakan untuk kesekian kalinya membuat Donghae sadar, cita-citanya terlalu jauh melambung tinggi.

Semilir angin membuat Donghae merasa lebih nyaman. Apalagi wangi bunga yang terbawa olehnya, menjadi aroma terapi tersendiri bagi Donghae. Ia berharap setelah matanya terbuka nanti, akan ada hal lebih baik yang terjadi.

****

“Akh~”

Yoon Hee terpekik ketika merasakan benda keras menghantam pelipisnya. Tangannya terangkat untuk mengusap bagian yang terasa sakit. Yoon Hee meringis kecil ketika menyadari benjolan di pelipisnya. Sialan! Siapa yang berani melempar Yoon Hee?

Yoon Hee mengedarkan pandangannya hingga matanya tanpa sengaja menangkap sebuah benda persegi kecil tergeletak tak jauh darinya. Yoon Hee beringsut mengambil benda itu dan mengamatinya dengan kening berkerut.

“Kaset?” gumamnya. Yoon Hee membalik benda itu kemudian menemukan nama yang sangat tak asing baginya tertulis di sana.

Kaset milik Donghae. Yoon Hee tersenyum melupakan luka kecil di pelipisnya. Tapi sesaat kemudian kening Yoon Hee kembali berkerut, mengapa kaset itu dibuang? Bukankah itu kaset berharga bagi Donghae?

Ia ingat bagaimana dulu Donghae kelabakan mencari kaset itu ketika tak sengaja meninggalkannya di ruang OSIS. Tapi hari ini, kaset itu seperti dibuang dengan sengaja oleh seseorang hingga menghantam pelipisnya.

Yoon Hee sekali lagi mengedarkan pandangannya. Dan senyum merekah kembali terlihat menghiasi wajahnya ketika matanya menangkap tubuh Donghae yang tengah berbaring di bangku taman.

Yoon Hee perlahan mendekat. Tak terelakkan lagi senyum lebar di wajahnya. Kelihatanya Donghae sedang tertidur. Ini kesempatan bagus bagi Yoon Hee. Ia akan sepuasnya mengamati wajah Donghae sebelum nanti pergi ke Seoul, Tuhan memang maha adil.

Ia meletakkan bekal makan siangnya dan juga kaset itu di bawah bangku kemudian menunduk untuk bisa melihat Donghae lebih jelas. Donghae menggeliat kecil, tampak tak nyaman dalam tidurnya. Matanya seolah tengah kesulitan menyesuaikan diri, Yoon Hee mengernyit kemudian membalikkan badan dan matanya langsung tertutup begitu cahaya matahari terasa menyengat. Yoon Hee kembali tersenyum. Donghae tak nyaman dengan cahaya matahari yang terlalu menyengat, tentu saja bukankah saat ini tengah musim panas. Dan bagaimana mungkin Donghae tidur di tempat terbuka seperti ini?

Yoon Hee bergeser sedikit kemudian membuat tubuhnya lebih tinggi dengan berjongkok di atas lututnya berniat melindungi Donghae dari sinar matahari. Kini Donghae tampak lebih nyaman dengan posisinya.

Yoon Hee lagi lagi tersenyum. Tampannya, batin Yoon Hee. Tangannya terulur menyingkap helaian rambut Donghae yang menutupi sebagian kening pria itu, memainkan telunjuknya di sana, Memutar-mutar.

“Benar, ternyata memang selebar ini!” ia terkikik ketika telapak tanganya terasa pas menangkup kening Donghae, “Aku juga tak tahu mengapa, tapi aku benar-benar menyukai keningmu Donghae Sunbae! Aku iri padanya, karena di balik kening ini semua yang kau pikirkan ada di sana, melindunginya dan tak membiarkan siapapun tahu. Termasuk diriku!”

Yoon Hee menarik tangannya dan membuatnya bergabung dengan tangan lainnya untuk terkait di depan dada. “Mengapa Donghae sunbae begitu tertutup? Apa keningmu terlalu tebal untuk dapat membocorkan apa pun yang kau pikirkan? Aku juga kan ingin tahu perasaanmu padaku!” Yoon Hee memasang wajah merajuk, entah pada siapa. Ia tak mungkin merajuk pada Donghae, meski apa pun yang dilakukan pria itu.

Yoon Hee melepas kaitan tangannya di depan dada dan mengacungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi dan memutarnya di sana. Ia berdehem sesaat sebelum memasang wajah angkuh,  “Aku akan menyihirmu menjadi pangeran tampan yang paling periang, ceria dan… dan…” Yoon Hee nampak berpikir bingung ingin menyihir Donghae menjadi seperti apa, namun detik kemudian wajahnya kembali merekah saat berhasil menemukan sebuah ide yang menurutnya sangat bagus, “Dan sangat mencintai putri Im Yoon Hee yang cantik, menjalin kasih kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya!”

Yoon Hee tak dapat menyembunyikan kikikannya. Ia tak menyangka bahwa dirinya bisa sekonyol ini. Donghae menggelit kecil membuat Yoon Hee menghentikan tawanya segera. Ia mengelus kening Donghae perlahan bermaksud menenangkan.

Ternyata mengaksikkan bermain dengan Donghae yang tertidur. Yoon Hee kembali mengamati wajah Donghae dengan cermat. Lagi-lagi kata tampan muncul di otaknya. Donghae yang terpejam seperti malaikat yang tengah tertidur. Hidung mancungnya dan bibir tipisnya yang indah. ‘Donghae sunbae seperti tak memiliki bibir atas saking tipisnya’ gumam Yoon Hee.

Yoon Hee manarik nafas sesaat, “Aku harus pergi Donghae sunbae, tapi aku tak tega kalau harus membangunkanmu.” Yoon Hee mendekatkan wajahnya, “Sampai jumpa nanti di hari ulang tahunku, Sunbae!” Yoon Hee menempelkan bibirnya di kening Donghae. Menciumnya sayang, entak keberanian dari mana sampai Yoon Hee melakukan hal itu. Donghae pasti marah jika ia bangun dan mendapati Yoon Hee mencium keningnya. Tapi berhubung Donghae tertidur jadi Yoon Hee dengan berani mengambil kesempatan itu.

Lama Yoon Hee tetap dalam posisi itu hingga ia menarik kembali wajahnya dengan senyum bahagia. Namun ketika ia menangkap mata Donghae yang terbuka sempurna-tengah menatapnya dengan kening berkerut membuat Yoon Hee kaget dan terjungkal ke belakang. Sungguh, matilah ia saat ini!

“Su-sunbae…”

“Apa yang sedang kau lakukan?”

****

Yoon Hee menatap lekat Donghae yang tengah menyantap bekal makan siangnya. Ia hampir saja mati saat menyadari Donghae memergokinya mencium kecing pria itu. Untung saja pria itu tak begitu mempermasalahkannya dan hanya berkomentar ‘Kau ternyata agresif ya?” tidak masalah dibilang agresif, kapan lagi ia akan mendapatkan kesempatan itu, sekali-kali kan tak apa. Kukuku~

Yoon Hee dengan cekatan memberikan air mineral ketika melihat bekal makan siangnya habis. Donghae menerimanya dan meneguk air mineral itu hingga tinggal setengahnya kemudian menghela nafas.

“Sejak tadi Donghae sunbae sudah tiga kali menghela nafas, apa ada masalah?”

“Tak ada.” Balas Donghae seadanya. Ia menatap datar ke depan melihat hamparan taman yang tampak kering di musim panas seperti saat ini. Kering, sama halnya dengan hatinya.

“Lalu mengapa kaset rekaman ini dibuang?”

“Kalau kau mau untukmu saja?”

“Bolehkah?”

“Iya.”

Yoon Hee tersenyum lebar kemudian menyimpan kaset itu ke dalam tas selempangnya. Ini barang yang berharga karena di dalamnya ada rekaman suara Donghae. Yoon Hee menyadari bahwa suara Donghae memang tak terlalu bagus, masih perlu banyak diasah tapi ada keunikan tersendiri dari suara pria itu. Suaranya sengau dan lembut disaat yang bersamaan hingga menimbulkan bunyi yang khas yang hanya dimiliki seorang Lee Donghae. Dan Yoon Hee sangat-sangat menyukainya. Apa sih yang tak disukai Yoon Hee dari pria itu.

“Donghae sunbae sedang ada masalah, ayo ceritakan padaku. Aku siap mendengarkannya kok!”

Donghae beralih menatap Yoon Hee membuat gadis itu harus mati-matian mengendalikan detak jantungnya saat ditatap selekat itu oleh orang yang dicintainya. Mata coklat bening itu begitu teduh dan dalam seolah banyak hal yang tersimpan di dalamnya.

“Apa kau tak lelah setiap hari menempel padaku?”

Yoon Hee agak terkesiap mendapati pertanyaan dari Donghae, namun secepat kilat ia kembali bisa menarik senyumnya. “Tidak, kalau perlu aku akan jadi plester agar bisa tetap melekat pada Donghae sunbae!”

“Kenapa begitu?”

“Karena aku mencintai Donghae sunbae!”

“Aku tak sesempurna itu untuk kau cintai seperti ini!”

“Kadang seseorang tak membutuhkan kesempurnaan untuk jadi sempurna. Dan aku hanya membutuhkan Donghae sunbae yang tak sempurna untuk menyempurnakan cintaku!”

Donghae menoleh cepat pada Yoon Hee, menatap gadis itu tak percaya. Bagaimana Yoon Hee bisa berkata seperti itu? Membuat Donghae semakin merasa bahwa dirinya tak pantas untuk gadis mana pun.

“Tadi adalah untuk ke lima kalinya aku ditolak oleh perusahaan rekaman dan aku masih harus berkonsentrasi dalam pelajaran disaat Appa tengah sakit dan berjuang untuk bertahan hidup dari hasil kerja paruh waktuku. Menurutmu apa aku masih punya waktu untuk memikirkan cinta?”

“Siapa bilang cinta butuh dipikirkan. Cinta itu hanya butuh dirasakan dan dibuktikan. Cinta tak akan membuat Donghae sunbae botak sama seperti ketika Sunbae memikirkan rumus matematika yang rumit itu, cinta tak akan membuat Donghae sunbae lupa dan menelantarkan Ayah sunbae yang tengah sakit, cinta tak akan membuat Sunbae kehilangan pekerjaan dan cinta tak akan menjadi penghambat Sunbae untuk menggapai cita-cita! Justru cinta akan membuat semuanya terasa semakin mudah…”

“Tapi cinta bisa membuatmu lupa bahwa masih ada banyak hal lain yang lebih penting untuk diprioritaskan dan…”

“Buktinya aku masih bisa berlari saat mencintai Donghae subae!” potong Yoon Hee, “Kenapa Donghae sunbae jadi pesimis begini? Tak peduli ditolak sampai berapa kali pun kalau perlu Donghae sunbae harus mencoba sampai seribu kali! Aku yakin akan membuahkan hasil yang manis. Donghae sunbae pasti jadi penyanyi terkenal nanti!”

“Mengatakannya saja memang mudah, tapi tak semudah melakukannya!”

“Memang sulit, tapi setidaknya kita sudah mencoba. Tak akan ada penyesalan dikemudian hari!”

Tak ada jawaban lagi dari Donghae. Ia memalingkan wajahnya dari Yoon Hee, kembali menatap kosong ke depan. Memikirkan lagi kata-kata gadis itu. Donghae Tak menyangka bahwa gadis itu juga bisa berpikir dewasa-bahkan lebih dewasa dari dirinya. Donghae pikir gadis itu hanya gadis manja yang terlalu optimis dengan apa pun yang dilakukannya, melupakan kenyataan bahwa coklat saja yang manis masih menyimpan kepahitan yang tak sedikit.

Tiba-tiba Donghae merasakan sepasang lengan melingkari tubuhnya, membawanya dalam sebuah dekapan yang Donghae akui-walau tak ingin-begitu hangat walau tubuh itu tak sebesar tubuhnya.

“Donghae sunbae kalau ingin menangis, menangis saja! Aku tak akan menertawakannya kok!”

“Kenapa aku harus menangis?” walau otaknya memerintahkan tubuhnya untuk melepas pelukan itu, tapi Donghae tak sanggup-entah karena apa, yang ia tahu ia begitu nyaman dalam dekapan gadis itu.

“Agar tak terlalu sesak, aku tahu Donghae sunbae sedang tertekan!”

“Sok tahu!” kedua lengan Donghae membalas dekapan itu, membenamkan kepalanya di pundak hingga gadis itu merasakan basah di bagian sana.

Yoon Hee tersenyum kecil, “Biar saja!” Donghae tak menjawab lagi dan menyembunyikan suara seraknya, “Donghae sunbae bersemangatlah! Aku tahu kau pasti bisa!”

“Kau memang gadis optimis ya!”

****

Hari ini benar-benar hari keberuntungan bagi Yoon Hee. Ia berhasil menjadi juara satu dalam kejuaraan lari interhigh, dan yang lebih membuat Yoon Hee membuncah adalah apa yang saat ini berada dalam genggamannya. Ia yakin Donghae akan sangat senang ketika kertas ini ia berikan padanya.

Ia sudah benar-benar tak sabar untuk bertemu pria itu, menagih hadiah ulang tahun dan meminta jawaban atas pernyataan cintanya. Semoga saja Dewi Fortuna benar-benar berpihak padanya, ia berjanji akan berkunjung ke panti asuhan setiap minggunya jika Donghae mau menjadikan dirinya sebagai pacar atau Yoon hee akan setiap hari memijat orang tuannya sebagai ungkapan rasa bersyukur. Apa pun yang kita dapatkan bukankah semua karena orang tua kita yang membuat kita lahit ke dunia ini.

Yoon Hee turun dari bis sekolah yang membawanya dari Seoul dengan tergesa-gesa. Ia akan meminta Ayahnya untuk mengemudi dengan kecepatan tinggi supaya bisa sampai di rumah dengan cepat dan bersiap untuk pesta ulang tahunnya nanti malam. Ia harus tampil cantik di depan Donghae. Ia juga berencana untuk memberikan potongan pertama kue ulang tahunnya untuk Donghae. Donghae pasti senang. Setelah itu mereka akan berbicara berdua saja di taman rumah, membicarakan kelanjutan hubungan mereka dan puncaknya Yoon Hee akan membarikan apa yang didapatnya selama berada di Seoul pada Donghae, brosur audisi untuk jadi trinee di sebuah perusahaan rekaman terkemuka di Korea. Yoon Hee sampai tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Donghae nantinya.

Yoon Hee mengedarkan pandangannya di lapangan tempat parkir bis yang ditumpanginya. Teman-temannya semua sudah dijemput oleh orang tua masing-masing, tapi sampai saat ini Ayah Yoon Hee belum juga datang padahal Yoon Hee sudah tak sabar untuk memamerkan medali emas yang diraihnya.

Yoon Hee mendesah kecewa dan memutuskan untuk duduk di atas tas besarnya sembari menunggu. Ia mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor ayahnya. Tak aktif, apa Ayah sedang sibuk mempersiapkan pesta ulang tahunya? Ahh, tapi tetap saja Yoon Hee ingin cepat pulang.

Tiba-tiba Yoon Hee merasakan sentuhan di pundaknya. Gadis itu menoleh dan mendapati Donghae di belakannya.

“Donghae sunbae? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Yoon Hee bingung.

“Menjemputmu.” Jawab Donghae. Yoon Hee kembali terkesiap. Donghae menjemputnya? Ada angin apa? Memang sih rumah mereka berdekatan tapi selama ini Donghae tak pernah mau walau hanya sekedar untuk berangkat atau pulang sekolah bersama.

“Menjemputku?”

“Iya.”

“Bagaimana bisa?”

“Tentu saja bisa!” Yoon Hee ingin sekali memukul kepala Donghae seandainya saja ia tega, tapi Yoon Hee tak bisa melakukan hal itu, ia terlalu mencintai Donghae. Pria itu benar-benar membuat Yoon Hee gemas dengan wajah datarnya. Seharusnya bukan ekspresi seperti itu yang harus ditunjukkannya pada gadis yang dijemputnya pulang. Harusnya ia memasang senyum menawannya. Ingin sekali Yoon Hee menarik bibir Donghae ke atas.

“Donghae sunbae mulai mencintaiku ya?” tanya Yoon Hee langsung.

Donghae merinding mendengar pertanyaan itu, tapi saat ini bukan waktunya Donghae untuk kesal pada gadis itu. Ada hal yang lebih penting untuk gadis itu lakukan ketimbang harus berdebat dengannya dan mungkin setelah ini Donghae akan sulit menemukan gadis di depannya ini tersenyum. Donghae tak bisa membayangkan apa yang akan gadis ini lakukan ketika ia tahu apa yang terjadi.

“Donghae sunbae mengapa malah melamun?”

Donghae terkesiap, “Ahh, Aniyo… Ayo pulang!”

“Naik apa?”

“Sepeda.”

Yoon Hee mendudukan tubuhnya di boncengan sepada Donghae kemudian meletakkan kedua tangannya melingkari perut Donghae. Ia tersenyum bahagia. Benar, Dewi Fortuna memang sedang berpihak padanya. Yoon Hee memberanikan diri menyenderkan kepalanya pada pungung lebar Donghae ketika sepeda itu berlahan bergerak.

Yoon Hee marasa nyaman. Ia mulai menghitung detak jantung Donghae yang mampu ia rasakan di balik punggung pria itu. Jantung itu berdetak teratur hingga lama kelamaan semakin cepat membuat Yoon Hee kewalahan dan akhirnya tak bisa lagi menghitung. Apa Donghae kelelahan?

“Donghae sunbae? Aku berat ya?”

“Tidak, kenapa?”

“Jantung Donghae sunbae berdetak cepat sekali, apa karena kelelahan mengayuh sepeda?”

Donghae terdiam. Benar, ia juga merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat padahal ia yakin Yoon Hee tak seberat itu hingga membuatnya lelah. Donghae memegang dadanya merasakan lebih dalam. ‘Pelukan Yoon Hee membuat jantungku tak normal’

“Donghae sunbae?”

Donghae terkesiap tapi berusaha tetap terlihat tenang, “Hm?”

“Appa kenapa tak bisa menjemput?”

Donghae kembali terkesiap. Kali ini jantungnya berasa berdetak semakin menggila. “It… Itu…”

“Aku senang Donghae sunbae yang menjemputku!”

****

Yoon Hee turun dari sepeda Donghae segera setelah sampai di depan rumahnya. Ia mengernyit heran. Mengapa ruamahnya sudah banyak orang? Bukankah pesta ulang tahunnya masih nanti malam jam 07.00?

“Donghae sunbae bawakan tasku ya?” pinta gadis itu pada Donghae yang kini mengikutinya dari belakang. Donghae menerima tas itu dan membawa ke dalam rumah bersama Yoon Hee.

Yoon Hee membuka pintu rumahnya, namun tubuhnya membeku seketika bahkan sebelum ia menar-benar masuk. Ia melihat ibunya dengan hanbok[9] putih terduduk bersama orang-orang yang juga berpakaian sama di depan sebuah foto besar yang menampilkan seseorang yang tengah tersenyum bahagia. Sangat tampak sekali senyum itu begitu tulus. Yoon Hee ingat, itu foto sebulan yang lalu ketika Ia diberikan kamera baru oleh Ayahnya. Yoon Hee memoto ayahnya ketika berada di kantor seusai rapat. Jas yang dikenakannya juga baru dibeli beberapa waktu lalu saat berlibur ke luar negeri, Yoon Hee sendiri yang memilihkannya.

Tapi mengapa foto itu dipajang di sana? Mengapa ada rangkaian bunga yang melingkarinya? Mengapa Ibu dan orang-orang itu mengenakan hanbok putih? Dan mengapa mereka semua tampak bersedih? Mengapa Ibu menangis? Lalu Ayah di mana? Ayah dimana, mengapa Yoon hee tak melihatnya?

“Yoonie…” Yoon Hee merasakan ibunya yang tengah mengandung adiknya itu memeluk tubuhnya sambil menangis. Yoon Hee tahu karena saat ini pundaknya terasa basah. Tapi Yoon hee masih belum mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. Atau memang Yoon Hee tak ingin mengerti?

“Appa sudah pergi, Appa pergi meninggalkan kita! Bagaimana ini Yoonie? Apa yang harus kita lakukan?”

Lutut Yoon Hee terasa lemas seperti agar-agar. Ia ingin mengeluarkan suaranya tapi tak bisa. Tenggorokannya terasa tercekat hingga yang lolos hanya air matanya.

“Mengapa di hari ulang tahunku?”

****

Donghae kembali menatap brosur audisi di tangannya. Rasanya sesak sekali ketia ia mengingat bagaimana gadis itu menyerahkan kertas ini padanya. Ia berusaha tersenyum walau Donghae tahu hatinya sedang sakit. Binar yang selama ini terpancar sudah redup dalam sekejap. Donghae merindukannya, merindukan gadis yang selalu optimis terhadap apa pun yang dilakukannya.

Seminggu sudah berlalu, tapi sampai saat ini Donghae belum berani menampakkan wajahnya di hadapan gadis itu-entah karena apa. Ia hanya merasa aneh, di saat dulu ia selalu disambut dengan tawa renyah dan kecerian oleh gadis itu tapi sekarang ia ikut merasakan sesak ketika melihat mata gadis itu yang meredup.

Gadis yang dulu memiliki segalanya itu kini hanya memiliki Ibunya dan adik yang bahkan belum lahir. Perusahaan Ayahnya bangkrut hingga membuat pria paruh baya itu memutuskan untuk bunuh diri meninggalkan Yoon Hee dan keluarganya.

Donghae mengintip dari balik pintu dapur yang terbuka. Memperhatikan Yoon Hee yang tengah serius dengan apa pun yang ada dalam pancinya. Donghae tak bisa membayangkan bagaiman rasanya masakan Yoon Hee karena ia tahu betul bahwa gadis itu tak bisa memasak.

Tiba-tiba Yoon Hee membalikkan tubuhnya hingga meraka bertemu pandang. Gadis itu tampak sedikit terkejut namun tak seekpresif dulu.

Yoon Hee tersenyum tipis, “Donghae sunbae sedang apa di sini?”

Donghae menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan perlahan mendekat pada gadis itu, “It.. Itu, aku…”

“Mau makan siang bersama? kebetulan Eomma belum pulang!”

Donghae hanya mengangguk kecil kemudian duduk di kursi makan menunggu Yoon Hee mengambil makanannya. Ia melihat gadis itu lagi, gadis itu tampak lucu dengan celemek kebesaran yang ia kenakan, kedua telapak tangannya tenggelam dalam sarung tangannya. Tanpa sadar Donghae mengulas senyum. Gadis itu tak penah mengeluh atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Ia hanya menjalaninya sebisa mungkin. Tak ada air mata kecuali ketika hari dimana pemakaman ayahnya berlangsung.

Yoon Hee meletakkan panci berisi sup tahu panas di atas meja kemudian mengambil dua mangkuk, menyerahkan satu yang sudah diisi sup pada Donghae.

“Donghae sunbae jangan takut, supnya enak kok!” Yoon Hee kembali mengulas senyumnya kemudian menyantap sup di mangkuknya sendiri. Kalau siutasinya seperti dulu pasti gadis itu sudah heboh mengatakan ini dan itu, tapi sekarang Donghae merasa lain. Walau gadis itu tetap tersenyum namun Donghae masih melihat kepahitan di sana.

Donghae mengernyit ketika sup itu menyapa lidahnya. Benar ini sup tahu? Mengapa rasanya manis sekali? Padahal Donghae tak suka makanan yang manis. “Yoon Hee-ya, mengapa supnya terasa manis?”

Yoon Hee sontak mengangkat kepalanya, “Benarkah?”

“Iya, jadi terasa aneh…”

Yoon Hee menggaruk belakang kepalanya sambil tersentum canggung, “Mungkin aku salah memberikan gula. Dimakan saja Donghae sunbae, jarang-jarang kan bisa mencicipi masakan gadis cantik sepertiku, atau mungkin karena orang yang membuat terlalu manis jadi supnya ikut manis ya?” Yoon Hee terkekeh dan kembali melanjutkan makannya dalam diam.

Donghae sudah tak tahan. Gadis itu sangat terlihat memaksakan senyumnya. Walau ia tak berhak menuntut, tapi Donghae ingin gadis itu bisa jujur padanya. Kalau ia ingin menagis, menangis saja tak perlu berakting ceria seperti itu. Donghae tiba-tiba saja merasa kesal sendiri.

Donghae beranjak dari kursi yang didudukinya kemudian berjalan memutar ke arah Yoon Hee, menarik gadis itu berdiri kemudian entah karena apa ia berani mencium gadis itu langsung. Jantung Donghae berdetak cepat menyadari apa yang tengah dilakukannya. Dapat ia lihat mata gadis itu terbuka lebar, tampak terkejut.

Bukan hanya Yoon Hee yang membeku di tempatnya, Donghae pun merasa kaku, shock atas apa yang dilakukannya sendiri. Demi Tuhan, Donghae spontan melakukan hal itu. Ia bahkan merasa otaknya tak pernah menyuruhnya melakukan hal itu.

Donghae menjauhkan wajahnya dari Yoon Hee dengan gugup, “Ma… maafkan aku!”

Yoon Hee masih diam kendati Donghae telah melepaskan ciumannya. Raut kaget di wajahnya belum hilang, sama seperti beberapa detik yang lalu.

“Yoon Hee-ya…”

“Donghae sunbae besok ke Seoul untuk audisi kan? semoga sukses ya…” Yoon Hee kembali memaksakan senyumnya.

“Yoon Hee-ya…”

“Tak usah dipikirkan, aku tahu Donghae sunbae tak bermaksud melakukan hal itu.”

Entah mengapa Donghae merasa kecewa ketika mendengar jawaban dari gadis itu. Ia tak tahu mengapa, tapi ia merasakan sesak ketika apa yang dilakukannya dianggap sesuatu yang tak ada artinya.

“Bu… bukan begitu Yoon Hee-ya… aku… aku, Saranghae[10]…”

****

Donghae mendesah kecewa. Berkali-kali ia melongok ke samping, di balik jendela kaca kereta api yang kini tengah ditumpanginya. Ia sangat berharap Yoon Hee datang, walau hanya untuk sekedar berpamitan mengucapkan sampai jumpa nanti. Tapi gadis itu tak pernah menampakkan batang hidungnya padahal Donghae sudah memberi tahu bahwa ia akan tinggal di Seoul mulai hari ini.

Donghae lolos audisi dan sekarang ia diharuskan menjalani masa karantina di Seoul sebelum debutnya. Itu artinya untuk wantu yang lama ia akan meninggalkan Mokpo bersama semua kenangan yang ada. Semua tak akan terasa berat jika tak ada Yoon Hee. Tapi sekarang Donghae merasa kehilangan ketika harus meninggalkan gadis itu.

Donghae menghela nafas, menyendarkan pungung lelahnya di sandaran kursi kereta.

‘Kadang seseorang tak membutuhkan kesempurnaan untuk jadi sempurna. Dan aku hanya membutuhkan Donghae sunbae yang tak sempurna untuk menyempurnakan cintaku.’

Kereta perlahan melaju, Donghae tersenyum tipis dan menutup matanya.

‘Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi. Kita akan menyempurnakan apa yang belum sempurna!’

****

Yoon Hee menatap lagi pintu rumahnya yang sudah tertutup rapat. Koper di tangan kanannya terasa begitu berat. Ia menoleh ketika sentuhan lembut menyapa pundaknya. Ia mendongak, ikut memberikan senyum pada Ibunya.

Yoon Hee tidak pernah tahu ternyata menahan air mata bisa sesakit ini. Yoon Hee juga tak pernah tahu untuk tersenyum bisa sesulit ini. Ketika ia meletakkan telapak tangannya di depan dada, ada sesuatu yang terasa mengganjal di sana. Ada yang belum bisa lepas seutuhnya hingga tak bisa membuatnya bernafas dengan leluasa.

Tapi hari tetap berlanjut. Matahari tetap bersinar meski kadang bulan merebut tempatnya. Musim semi masih akan datang lagi tahun depan, tak akan pernah ada musim panas sepanjang tahun, masih ada musim gugur dan musim dingin. Dan memang seperti inilah hidup.

Kita berjalan meninggalkan hari kemarin, melupakan kenangan pahit dan mengingat yang indah sebagai pengobat rindu. Kita berjalan untuk hari esok, selangkah demi selangkah menuju ke tempat dimana hari esok itu tiba. Sekarang tak penting, apakah kita sedang berlari atau pun berjalan, cepat atau lambat kita tetap akan mencapai tempat itu meskipun jalan di depan tampaknya jauh. Suatu saat kita akan mencapai langit biru yang luas dan penuh kebebasan.

‘Meskipun kita tidak tahu kemana kita akan pergi. Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi sudah dengan identitas asing….’

FIN