Shinee Fanfiction
LOVE ME 12 [END]
Author : Azmi
Main cast :
- Kim Jonghyun
- Choi Yumi
Other cast :
- Lee Taemin
- Shin Sekyung
- Shim Min Ah
- Choi Siwon
- Choi Minho
- Choi Minhwan (FT Island)
- Lee Hongki (FT Island)
- Kim Tae Yeon
Length : Squel
Genre : Sad, Romance, Married life, Friendship
Rating : PG 15
A/N : semoga ada yang masih ingat sama Fanfic ini. Dan ini akan sangat panjang. Chapter sebelumnya bisa dicari di Page Library.
STORY
“Meskipun kau menolak, takdir tetap akan berjalan, baik kau sendiri yang menjemputnya atau seseorang yang akan mengantarkannya tepat di depan matamu. Dan kau tahu, aku adalah takdirmu”
“Baiklah, nanti jam 6 tolong ingatkan aku lagi.” Jonghyun menutup sambungan telepon yang terhubung dengan sekretarisnya. Kembali memandang ke samping dimana ruang kerjanya didominasi oleh kaca hingga ia bisa menikmati pemandangan kota.
Hujan salju tampak turun menyelimuti Seoul, ini adalah musim dingin ke delapan yang dilaluinya setelah hari itu. Jonghyun mengangkat tangannya, ia sapukan ujung jari telunjuknya menggores kaca yang berembun hingga samar terlihat sebuah kata tertulis di sana. Jonghyun tersenyum miris.
Ruang kerja Jonghyun tiba-tiba terbuka. Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi tampak berjalan mendekat. Di tangan kanannya menenteng sebuah kotak yang Jonghyun yakini adalah bekal makan siangnya.
“Kudengar setelah ini sampai jam 6 kau tak ada kesibukan, istirahatlah Jonghyun~ah, bagaimana kau bisa memperlakukan tubuhmu seperti itu, tidur 2 jam sehari sangat tak manusiawi. Eomma tak ingin kau sakit.” Wanita itu membuka kotaknya dan menata di atas meja yang disediakan di ruang kerja Jonghyun.
Jonghyun melangkah menuju sofa kemudian duduk di samping Ibunya, menaruh kepalanya di pundak wanita yang sangat disayanginya itu, “Ternyata Eomma bertambah cerewet seiring dengan bertambahnya usia, itu tak baik Eomma,” Jonghyun memejamkan matanya sambil tersenyum tipis.
“Eomma serius Jonghyun~ah…”
“Eomma akan semakin cepat tua jika terlalu serius, lagi pula tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Jonghyun mendapatkan satu jitakan kecil dari Ibunya hingga membuatnya sontak mengangkat kepala-memandang geram, “yaa! Mengapa memukulku?”
“Jangan berteriak pada Ibumu!” bentak Eomma, “lagi pula apanya yang tak perlu dikawatirkan? Mau sampai kapan kau seperti ini? Kau mau membunuh dirimu sendiri perlahan-lahan huh? Bunuh dulu Eomma sekarang juga kalau begitu!”
Jonghyun menghela nafas, menegakkan tubuh menghadap ibunya dengan tatapan yang seakan memperlihatkan ia baik-baik saja, “Eomma jangan berlebihan, sungguh aku baik-baik saja, lagi pula setalah jam makan siang berakhir aku akan mengunjungi panti dan setelah itu harus mengecek keadaan pabrik yang di daerah Gangwon. Lebih baik Eomma memikirkan kesehatan Eomma sendiri, bukankah akhir-akhir ini Eomma sering sakit hm? Kumohon jangan pikirkan apapun.”
Jonghyun membawa Ibunya ke dalam pelukan, ia tahu Ibunya sangat khawatir, mengingat delapan tahun belakangan ini hampir seluruh waktunya ia gunakan untuk bekerja. Jonghyun tahu itu sangat tak baik apa lagi membuat Ibunya cemas, ia hanya tak mau kalau ia sedang tak melakukan apa pun hatinya akan kembali mengingat Yumi. Bukannya ia tak mau mengingat wanita itu lagi, bahkan hatinya sudah sepenuhnya terikat pada wanita itu, hanya saja ia tak mau lagi dihantui rasa bersalah yang membuatnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia sudah berusaha mencari wanita itu, tapi sampai detik ini ujung rambut wanita itu pun tak pernah ia lihat. Jonghyun sangat merindukannya, benar-benar merindukan wanita itu hingga membuatnya merasa tercekik jika sedikit saja tak melakukan aktivitas.
“Eomma kesini untuk membawakanku makan kan?” Jonghyun melepas pelukannya memandangi ibunya dengan sayang yang hanya dibalas anggukan kepala dari wanita paruh baya itu. “Suapi~” rengek Jonghyun.
Akhirnya wanita itu tersenyum, “dasar!”
“Ayo suapi aku Eomma~” Jonghyun kembali merengek dan mengapitkan lengannya pada lengan Eomma.
Wanita itu menggusak puncuk kepala Jonghyun dan tersenyum miris, “Anakku yang malang~”
****
Cafe Latte setengah hangat itu masih memenuhi cangkir, hiruk pikuk kendaraan di balik jendela kaca membuat Yumi urung untuk mengalihkan perhatiannya—bahkan hanya untuk sekedar menyeruput kopinya.
Di New York juga sedang musim salju—juga tahun ke delapan setelah ia meninggalkan Seoul. Rasanya sangat berbeda. Kau akan merasakannya jika sesuatu yang bahkan telah kau lewati bertahun-tahun masih terasa asing untukmu. Walau jatuh dari langit yang sama, namun tak seperti salju di Seoul. Entah mengapa bayangan salju yang seakan terasa hangat menyeruak dalam hati Yumi ketika ia mengingat musim salju beberapa tahun yang lalu di Seoul.
Ketika ia masih bisa mendengar keluh orang itu tentang bagaimana dinginnya suhu yang mencapai nol derajat, tentang bagaimana orang itu meracau karena jalanan yang licin akibat es yang membekukan jalan. Semua itu berputar begitu saja di otak Yumi. Masih ingatkah ia pada Yumi?
“Mau sampai kapan kau melamun seperti itu? Kopimu bisa menangis karena kau acuhkan.” Yumi menoleh, menemukan Minho dengan tas yang semula tersampir asal di pundaknya tiba-tiba sudah berada di meja tepat di depan Yumi dengan menimbulkan bunyi gebrakan yang cukup membuat orang terlonjak—setidaknya bagi Yumi.
Minho mengambil tempat di samping Yumi, mengarahkan pandangannya pada jalanan di depan mereka, tak ada yang istimewa menurutnya, tapi mengapa Yumi begitu larut dengan pemandangan biasa itu?
“Kau tak sedang memikirkan pria pirang kemarin kan Mi~ya?” Minho memandang penuh selidik pada Yumi, mengingat peristiwa kemarin saat ia sedang jalan dengan wanita itu untuk menikmati akhir pekan di Barneys New York yang berlokasi di Mdison Avenue, tiba-tiba pria yang Minho akui cukup memukau atau apalah itu, menyapa Yumi dan mengajak wanita itu berkenalan. Minho bahkan sempat mendapati meraka bertukar nomor telpon.
“Hey, berhenti mengungkit-ungkit hal itu, kau sudah menyinggungnya 15 kali sejak bangun tidur, kau tak lelah? Lagi pula kami hanya kebetulan saja bertemu dan berhenti menatapku seperti itu!”
Akhirnya Yumi menyeruput kopinya untuk sejenak merilekskan diri. Kafe hari ini sedang sepi hingga ia tak memiliki pekerjaan hanya sekedar menghabiskan waktu luangnya yang akhir-akhir ini cukup banyak.
“Huh~ berikan ponselmu.” Minho menadahkan tangannya membuat Yumi mengernyitkan mata walau pada akhirnya wanita itu tetap memberikan ponselnya.
“Aku akan menghapus nomor pria penggoda itu dan ingat jangan sembarangan berkenalan dengan orang asing, pria NY itu sangat mengerikan!”
Ponsel itu sudah kembali ke tangan Yumi, tapi gadis itu sejenak melongo, bagaimana Minho masih seperti ini, memperlakukannya dengan begitu posesif bahkan pacarnya saja tak ia perhatikan hingga seperti ini.
“Ya! Apa-apaan kau ini, lagi pula aku tak akan berkenalan jika bukan dengan orang asing, menurutmu apa aku harus selalu berkenalan denganmu yang notabene sudah aku kenal di luar kepala?” Yumi mendengus frustasi.
“Tak masalah jika itu bisa menghentikanmu berkenalan dengan pria-pria liar di luar sana.” Sahut Minho santai sembari berlalu meninggalkan Yumi.
“Yaa. Jangan berbicara seolah-olah aku ini wanita yang suka berkenalan dengan sembarang orang!”
Minho tak menggubris teriakan Yumi, ia tetap melangkah meninggalkan kafe dengan santai, “Huh~ kuliah hari ini benar-benar melelahkan, gadis-gadis cerewet itu sungguh menyusahkan. Lebih baik aku menjemput Minhwanie sekarang.”
****
Jonghyun memarkirkan porche hitamnya setelah melewati gerbang kayu bercat putih itu tepat di depan undakan pintu utama. Ia keluar dari mobilnya kemudian menuju bagasi untuk mengambil beberapa paper bag yang akan ia berikan pada anak-anaknya.
Jonghyun baru akan membuka pintu utama panti asuhan ketika lebih dulu pintu itu terjerembab terbuka, hampir saja Jonghyun terjengkang ke balakang karena kaget.
“Appa!” gadis kecil dengan rambut diikat kuda menyembulkan tubuh mungilnya.
“Astaga Yongie kau mau membuat Appa terkena serangan jantung mendadak?” Jonghyun mengelus dadanya yang dibalas dengan cengiran oleh Yong-Sang hingga menampakkan dua gigi kelinci gadis kecil itu.
“Anio, Yong-Sang sangat sayang pada Appa, mana mungkin Yong-Sang tega membuat Appa kena serangan jantung. Yong-Sang kagen sekali pada Appa, makanya Yong-Sang sangat bersemangat,” Jawab Yong-Sang sambil mengibaskan tangan, “sudah dua minggu Appa tak berkunjung~” tambahnya sedih.
Jonghyun tersenyum kemudian berjongkok di depan gadis kecil itu, “maafkan Appa, akhir-akhir ini Appa sangat sibuk. Yong-Sang tidak nakal kan?”
“Tentu saja tidak!” jawab gadis kecil itu cepat, “Yong-Sang tidak pernah nakal.”
“Anak pintar~” Jonghyun menggusak puncak kepala gadis kecil itu.
Yong-Sang menarik tangan Jonghyun dari puncak kepalanya dan menyeret pria itu masuk lebih dalam. Gadis kecil itu tampak begitu bersemangat. Rambutnya yang panjang melambai seiring dengan pergerakan riang kaki kecilnya, Jonghyun tersenyum tipis. Jika saja waktu itu ia tak bertindak bodoh mungkin anaknya akan sebesar Yong-Sang saat ini.
“Appa tahu tidak, kemarin ada Eoni baru lho~” gadis itu melambatkan langkahnya dan mendongak menatap Jonghyun.
“Benarkah? Appa tak tahu, apa dia baik pada Yong-Sang?”
Yong-Sang menghentikan langkahnya dan Jonghyun berjongkok menyamakan tingginya. Raut wajah Yong-sang berubah sendu dengan kepala tertunduk.
“Eoni belum bicara apa pun sejak datang Appa, dia mengurung dirinya di ruang musik dan tak mau bertemu dengan siapa pun. Yong-Sang melihat raut sedih di wajahnya. Appa bisa tidak menemuinya? Sepertinya dia sedang dalam masalah yang rumit. Appa kan super hiro, pasti bisa membantu Eoni….”
Jonghyun tersenyum tipis. Yong-Sang begitu lugu, ia tak pernah bisa melihat orang lain bersedih sama seperti gadis yang sampai saat ini masih melekat di ingatannya tanpa bisa ia hilangkan.
“Benarkah, apakah Appa boleh menemuinya? Yongie mau mengantarkan Appa?”
Yong-Sang semakin menundukkan kepalanya, “Eoni tak mau bertemu Yongie, dia selalu menatap Yongie dengan tajam, Appa kesana sendiri saja, Yongie akan melihat dari luar.”
“Baiklah kalau Yong-Sang tak mau ikut, Kajja kita buat Eoni mau bertemu dan bicara dengan Yong-sang kita yang baik hati ini….”
****
“Appa Fighting!” Jonghyun melempar senyumnya membalas Yong-Sang yang menyemangatinya dengan kepalan tangan di udara sebelum membuka pintu ruang musik.
Jonghyun membuka pintu ruang musik perlahan kemudian mengedarkan pandangannya dan menemukan seorang gadis tengah berjongkok di bawah jendela ruang musik membelakangi Jonghyun. Gadis itu tampak tak menyadari kehadiran Jonghyun.
Jonghyun berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakang gadis yang masih tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Tak ada gerakan yang mampu ditangkap Jonghyun. Jonghyun mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak kecil itu sebelum sebuah suara menghentikannya.
“Tidak kah kau merasa cuaca hari ini sangat cerah?” suara itu terdengar serak menusuk gendang telinga Jonghyun.
Ia terpaku di tempatnya dengan tangan yang masih mengambang di udara. Jonghyun pernah mendengar jenis suara dengan nada yang sama persis seperti itu. Nada yang seolah menggambarkan pemiliknya yang berusaha keras untuk tetap terdengar ceria dan berfikir semua baik-baik saja padahal hal sebaliknya tengah terjadi, “dia akan datang menjemputku dan semua akan kembali seperti semula, benarkan?”
Jonghyun menarik tangannya dan menunggu gadis itu untuk melanjutkan ucapannya. Punggung gadis itu mengingatkan Jonghyun pada seseorang sepuluh tahun yang lalu. Gadis yang berjongkok dengan punggung yang seolah melengkung ke depan karena tangannya yang memeluk lutut mencari perlindungan.
Selang beberapa waktu hanya keheningan yang tercipta, Jonghyun perlahan duduk di samping gadis itu dan ia nampak tertegun melihat bunga iris di depannya. Biru, sama seperti bunga pemberian Yumi waktu itu.
“Kau sedang apa?” Jonghyun bertanya hati-hati. Gadis itu menoleh dan memberikan senyum pada Jonghyun tanpa memberiakan jawaban apapun.
****
“Nunaaa…” Yumi hampir menjatuhkan notebook dari pangkuannya ketika sepasang lengan gempal memeluk lehernya dengan iringan teriakkan yang memekakak telinga.
Yumi menghela nafas. Apakah semua orang di rumah ini begitu berbakat untuk membuatnya jantungan?
Yumi menutup notebook-nya kemudian menoleh dan mendapati cengiran—yang kata orang-orang imut itu—terpasang di wajah Minhwan. Ingin sekali Yumi meremasnya karena gemas.
“Nunaaa, aku punya berita gembira. Kau harus menjadi orang pertama yang tau.” Minhwan masih bergelayut manja ketika mengatakan maksudnya tanpa menunggu Yumi menetralisir detak jantungnya. Remaja tiga belas tahun yang hyperactive itu begitu bersemangat.
“Seharusnya kau duduk dengan baik dulu, baru mengatakan berita gembira itu Minari, agar nuna bisa mendengarnya dengan baik,” Yumi melepas lilitan tangan di lehernya kemudian menarik Minhwan memutari sofa untuk duduk di sebelahnya.
Minhwan tampak tak terganggu dengan tindakan Yumi, ia tetap dengan senyuman lebarnya yang memperlihatkan betapa ia tengah bahagia. Tangannya berganti menggenggam telapak tangan Yumi.
“FT ISLAND akan tampil untuk pertamakalinya di TV, Nuna harus bangga padaku. Aku akan memukul drum dengan baik dan penuh semangat, kau harus jadi penonton di barisan pertama.”
Yumi tersenyum bangga. Minhwan benar-benar membuktikan omongannya dulu bahwa ia akan menjadi pemain band yang terkenal. Yumi ingat delapan tahun yang lalu ketika ia dan keluarganya pindah dengan membawa Hongki—anak yang Yumi temukan di rumah sakit—untuk menemani Minhwan karena Minho yang sampai saat ini begitu dendam padanya karena menganggap Yumi menganaktirikan dirinya. Hongki yang kebetulan mempunyai suara yang bagus bisa langsung akrab dengan Minhwan kemudian mereka membuat Band.
Belum sempat Yumi mengucapkan selamat pada Minhwan sebuah kepala tiba-tiba saja menyela diantara mereka, membuat keduanya terpekik kaget—kedua kalinya bagi Yumi.
“Astaga Minho~ nuna akan benar-benar mati muda jika kau dan adikmu ini mengagetiku sekali lagi. Tak bisakah kalian muncul dengan lebih manusiawi?” Yumi mengelus dada.
“Jangan protes dulu Mi~ya, aku ada kabar baik untukmu.”
“Apakah semua kabar baik harus selalu datang seperti bumerang yang datang tiba-tiba?” sela Yumi tak minat.
“Hyung, kau membuat Nuna marah~”
“Diam kau bantet, aku tak sedang bicara padamu!” potong Minho pada protes Minhwan membuat bocah itu manyun seketika. Kenapa kakak kandungnya ini selalu kasar padanya, apa sebenarnya kesalahan yang Minhwan lakukan hingga membuat Minho begitu membencinya.
“Dengarkan dulu Mi~ya, kau akan bersorak jika mendengar berita besar yang kubawa kali ini.”
“Baiklah, cepat katakan. Aku akan mendengarkanya…”
“Novelmu yang sebulan lalu dirilis di Venesia menjadi best seller, aku mendengarnya dari Taemin Hyung. Dan kau tahu?” jeda sejenak. Sengaja Minho ingin membuat Yumi penasaran, lihat bagaimana wajah itu terkejut, “kau diudang dalam acara bedah buku bersama beberapa penulis novel dunia yang terkenal, apa ini bukan berita besar menurutmu?”
Yumi masih terdiam dengan mata yang belum berkedip menatap Minho. Benarkah apa yang dikatakan Minho? Novelnya, novel perdananya dan langsung menjadi best seller. Apa Yumi tak sedang bermimpi? Bagaimana mungkin?
“Kau harus berterimakasih pada Taemin Hyung…”
“Nunaaa Hebat!!” pekik Minhwan.
****
I close my eyes in this sleepless night
And recollect my thoughts of you
I hate myself, who knew nothing
I turn on the lights and look around my room
My eyes come to a halt as I look at the dimly lit spot
Where I put that birthday present I didn’t throw away
and everything of you
Cause you were my sun, the moon
You were my everything and
Everything in my room seems to miss you
If I get tired putting myself in harm’s way to find you
and forget for a moment
our hidden memories still linger
cause you’re still in my room
Wandering the sea of life, all the lost dreams
are in the corners of my desk drawers
you were hidden within them
A picture of you I found in a box, under a layer of dust
A love letter filled with my young heart
and everything of you
Cause you were my sun, the moon
You were my everything and
Everything in my room seems to miss you
If I get tired putting myself in harms way to find you
and forget for a moment
our hidden memories still linger
cause you’re still in my room
Even if I throw it away, again and again
I want to call you
and see you smiling in front of me
I want to keep you right here
Cause you were my sun, the moon
You were my everything and
Everything in my room seems to miss you
If I get tired putting myself in harms way to find you
and forget for a moment
our hidden memories still linger
cause you’re still in my room
JONGHYUN
Dentingan piano sudah berakhir. Aku menoleh ke samping dan kulihat Ji-Eun manatapku tanpa berkedip. Tangannya terangkat kemudian mengusap pipiku yang basah hingga aku tahu baru saja menangis tanpa kusadari.
“Apa kau sedang merindukan Yumi, Jonghyun~Hyung?.”
Taemin…..
****
Aku membenarkan letak scraft yang melilit leherku. Suasana bandara Marco Polo tampak tenang, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Venice. Pukul delapan nanti aku sudah harus sampai di Venice Art Center Hall. Masih ada dua jam lagi sebelum acara bedah buku terbesar tahun ini diadakan, novelku memang tak masuk ke dalam agenda tapi tersangkut dalam daftar undangan saja sudah sangat membahagiakan. Taemin memang hebat, aku tak tahu dari mana ia bisa membuat novelku dibaca oleh mereka. Lagi pula kurasa tak ada yang istimewa dengan novelku kecuali ceritanya yang memang nyata.
Taemin bilang Ia akan menjemputku di bandara. Tapi sudah setengah jam berlalu dan aku masih menunggunya di Loby tanpa melakukan apa pun. Sebenarnya perutku tengah berontak lapar, tapi aku malas untuk beranjak ke restoran maupun kafe bandara. Aku hanya ingin cepat sampai hotel dan mengistirahatkan punggung lelahku. Aku sudah mencoba menghubungi ponselnya, namun nihil. Polselnya tak akif dari sebelum keberangkatanku dari New York.
****
JONGHYUN
Aku melihatnya. Yumi, dengan mantel tebal berwarna putih gading yang membungkus seluruh tubuh atasnya. Rambutnya jauh lebih pendek dari sejak delapan tahun lalu aku melihatnya.
Jantungku berdenyut. Seperti sesuatu membuncah dari dalam sana. Aku ingin berlari dan memeluknya dengan erat. Isteriku yang dulu kusiakan, kemudian pergi dan kurindukan selama delapan tahun nyaris seperti orang mati. Seluruh pori kulitku berteriak untuk berlari menerjang gadis itu.
Dia masih sama. Cantik dan menyejukkan. Caranya berkedip saat gelisah. Bibir tipisnya yang terkatup rapat tampak khawatir. Ya Tuhan aku tak bisa menahan diriku lagi.
Hampir saja kakiku melangkah sebelum sebuah tangan menggenggam bahuku. Aku menoleh dan mendapati tatapan Taemin yang seolah mengatakan belum saatnya aku menemui gadisku. Kemudian dengan sangat terpaksa aku melangkah menjauhinya.
Masih kuingat ketika dua hari yang lalu orang yang tak pernah kuduga datang menemuiku secara tiba-tiba, menanyakan apakah aku merindukan isteriku. Tentu saja aku sangat merindukannya. Taemin bilang seandainya waktu masih bisa diulur lebih lama lagi, tapi Ia tak bisa untuk membiarkanku terlarut dalam kesedihan tak berujung. Dalam hal ini aku sangat berterimakasih padanya hingga rasanya aku ingin mengucapkannya ribuan kali.
Taemin memberitahuku tentang Yumi yang selama ini ada di New York. Hidup dengan baik dan bahagia. Setidaknya itu yang terlihat di luar, Taemin tak bisa memastikan apakah sama dengan yang ada di dalam hatinya. Kemudian aku mendesaknya untuk segera mempertemukan kami. Dan jadilah aku di sini. Menghadiri undangan yang diberikan Taemin kepadaku dalam acara bedah buku Internasional. Aku juga tak tahu bagaimana Taemin bisa mendapatkan undangan ini.
****
“Anne, apa kau yakin dengan keputusanmu?”
“Ini yang terbaik.”
“Apa kau tidak akan menyesal? Kalau kau ingin menangis, menangislah.”
“Tentu saja aku ingin menangis”
“Perasaanmu pasti sangat berantakan.”
“Kau benar Lyn.”
“Aku tahu kau pasti merasa kecewa, terpuruk, jatuh.”
“Tidak. Tidak sebanyak itu. Aku hanya merasakan satu.”
“Apa itu?”
“Mati.”
“Kau masih memilikiku Anne. Kau harus ingat itu.”
No matter how tightly you hold someone, you still need to let go when the time comes.
Aku belum pernah menanyakan apa yang dirasakannya padaku. Ketika kami tinggal bersama aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu yang dirasakan gadisku seburuk itu. Hatinya terluka sangat dalam karenaku.
Tidak. Bahkan airmata yang kukeluarkan hingga keringpun tak akan bisa membayar apa yang dirasakannya.
Novel dengan tebal dua ratus halaman lebih itu sudah hampir habis kubaca. Aku membelinya ketika menghadiri bedah buku semalam. Dan sekarang, selama dua jam terakhir aku sibuk menyalahkan diriku sendiri. Mengutuk dan menyumpahi.
Tapi Yumi, kau harus tahu aku sudah menerima balasannya selama delapan tahun hidupku. Dan aku ingin semua ini berakhir. Kita harus memulainya dari awal.
I will hold you in my heart. Till I can hold you in my arms.
****
Aku melihatnya dari kejauhan, daun maple yang menghujani rambut hitam legamnya. Ujung Syal merah marunnya berkibar diterpa angin musim gugur. Bersama gadis lain, tertawa dan saling menggenggam tangan. Mungkin ia sudah menemukan alasan untuk siapa ia harus tersenyum. Tak seperti halnya aku yang bodoh karena bahkan untuk tersenyum ketika melihatmu tertawa saja begitu sulit.
Senyummu menyakitiku. Tapi ketika jendela kamar terbuka, menampakkan rintik air hujan. Aku harus menikam perasaan rindu ini dalam-dalam. Yang kutahu bahwa, untukku tak ada ruang yang sama seperti yang dimiliki gadis itu dihatimu.
Seharusnya kau mengerti rasa sakitku. Mungkin itu akan membuatmu berfikir sekali lagi tentang sikapmu yang tak mau peduli.
Pada suatu ketika aku harus mengambil keputusan yang sangat berat dalam hidupku. Pergi dari hidupmu. Ini harus kulakukan karena kalau tidak. Aku benar-benar akan mati.
Aku sadar, pada akhirnya, tidak ada yang bisa mamaksa. Tidak juga janji dan kesetiaan. Sekalipun aku memilih tetap bersamamu, hati tak akan bisa dipaksa oleh apapun, oleh siapapun.
Aku menghentikan kegiatan membaca novel Yumi. Ketika televisi menampilkan wawancara dengan beberapa undangan di acara kemarin.
Itu gadisku. Berdiri di depan beberapa wartawan dengan senyuman ramahnya. Ia tampak cantik dengan dress aqua yang membalut tubuh mungilnya. Ia memamerkan sebuah novel yang sama persis yang ada di genggamanku. Bersampul bunga iris kecil di dalam pot.
“Yumi~ssi, mengapa kau memutuskan untuk memilih menjadikan karakter Anne pergi meninggalkan Kevin?”
Aku melihat Yumi tersenyum kecil, seperti tanpa beban. Tapi kemudian jawaban yang diberikannya membuatku ingin membunuh diriku sendiri.
“Aku selalu menempatkan diriku sendiri dalam cerita ketika melukiskan karakter Anne. Dan menurutku menunggu itu menyakitkan, meninggalkan juga,,,,” Yumi kembali tersenyum, “tapi lebih menyakitkan lagi ketika kita tak tahu harus menunggu atau meninggalkan.”
“Kau menghayati karakter Anne dengan sangat baik. Apakah ini kisah nyata?”
“Tidak, ini bukan kisah nyata.” Tawa renyahnya menyakitiku.
“Kemudian pertanyaan yang terakhir. Para pembaca merasa belum puas dengan akhir cerita. Mereka menemukan kebingungan tentang apa yang menjadi akhir dari kisah ini. Apakah nantinya akan ada lanjutan atau seaseon dua?”
“Tidak, tidak. Akhir ceritanya sudah jelas. Anne pergi dan Kevin tetap pada kehidupannya. Tidak akan ada squel atau yang lainya. Kisah ini cukup sampai di situ.”
****
Taemin bilang Yumi akan berkeliling ke pusat oleh-oleh di Vanice siang ini. Aku sudah siap dengan beberapa tangkai bunga Iris yang diikat rapi yang kubeli di depan hotel. Aku pun sudah menyewa mobil untuk mengantarku ke tempat Yumi berada. Hari ini aku putuskan untuk menemuinya. Entah apa yang saat ini kurasakan. Seperti cemas dan gugup dalam sekali waktu. Tapi lebih dari itu banyak ketakutan menggerogoti hatiku. Apa reaksi Yumi ketika kami bertemu nanti.
Lagi-lagi aku hanya bisa menguntitnya tanpa berani menyapa. Gadis itu sedang memilih oleh-oleh yang mungkin akan diberikannya pada keluarga yang di New York. Kali ini dia menggunakan setelan santai kaos longgar dengan rok lipat-lipat yang lucu. Ada tas selempang kecil menggantung di pundaknya. Akhirnya gadis itu memutuskan membeli miniatur drum, topi, dan beberapa potong pakaian.
Aku kembali melangkah mengikutinya. Gadis itu berhenti di sebuah toko pernak-pernik. Kaki-kaki mungilnya menaiki lima anak tangga sebelum melewati pintu kaca geser. Aku melihatnya sibuk mencari sesuatu sebelum ia memutuskan untuk membeli sebuah lonceng berwarna hijau tua.
Yumi keluar dari toko dengan senyuman mengembang di bibirnya. Ia tampak bahagia dengan tas-tas karton di tangannya. Yang kulihat selanjutnya adalah ia memasuki sebuah Caffe. Aku ikut masuk tapi aku menempatkan diriku beberapa meja di belakangnya. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela kaca yang memperlihatkan jalanan yang tampak ramai dengan pejalan kaki.
Gadis itu tampak cantik dengan bando putih polosnya. Matanya menerawang jauh ke luar. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya saat ini. Tatapan matanya tampak kosong sebelum dering ponsel mengalihkan konsentrasinya. Setelah itu ia tertawa senang. Aku ikut tersenyum melihat tawa riangnya.
Pesanan Yumi datang. Semangkuk mashmallow panggang dan secangkir kopi. Ia menghabiskan mashmallownya hanya dalam lima menit kemudian memesan lagi satu porsi. Aku tak pernah tahu kalau gadis itu begitu menyukai makanan kenyal berwarnah putih itu.
Kami sudah berada di caffe ini selama lebih dari satu jam. Kupikir Yumi sudah akan mengakhiri acara jalan-jalannya tapi kulihat ia justeru mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya. Ia tampak sibuk menorehkan coretan dibuku kecil itu dengan alis yang tertekuk tajam. Wajahnya terlihat lucu ketika sedang serius berfikir. Apa itu juga ekspresi yang sama saat ini menulis novelnya? Kemudian aku putuskan untuk mengeluarkan ponselku dan mengambil gambarnya. Hasilnya sangat menakjubkan. Aku akan mencetakkanya kalau sudah kembali ke Korea nanti.
Aku sibuk melihat foto Yumi ketika kusadari gadis itu beranjak keluar dari Caffe. Dengan terburu-buru aku menyusulnya menaiki bus. Kupikir ini akan membawa kita kembali ke Hotelnya. Dan ini akan menjadi akhir buruk rencana yang sudah kususun sebelum memutuskan membuntuti Yumi.
Aku baru tahu ternyata aku begitu pengecut. Aku belum berani untuk menemuinya secara langsung. Dan berakhir hanya dengan melihatnya memasuki hotel.
Helaan nafas kasar keluar dari mulutku. Aku menatap bunga iris yang masih kugenggam dengan erat. Kupikir ini akan sampai ditangan gadisku.
****
Bunyi alarm keras membangunkan tidurku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku mengecek ponsel dan menemukan beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat. Aku melihat salah satunya dari Taemin.
Hyung, Yumi memutuskan mempercepat kepulangannya. Ia kembali hari ini.
Selama beberapa detik aku merasa detak jantungku berhenti. Tidak, aku tak akan membiarkan kesempatan yang selama delapan tahun ini kuimpikan lenyap begitu saja. Yumi, gadis itu tak akan kubiarkan pergi lagi dari hidupku.
Aku sudah menanti cukup lama, dan aku tak ingin merasakan lagi sakitnya menunggu, mencari dan berharap. Ketika akhirnya kesempatan itu ada di depan mata, tidak mungkin kubiarkan berlalu begitu saja.
Dengan langkah tergesa kuambil kunci mobil yang tergeletak di dekat lampu tidur. Kujalankan mobil dengan kecepatan tinggi hingga tak butuh lama aku sudah ada di bandara Marco Pollo. Tujuan pertamaku adalah ke tempat recepsionis. Tapi wanita dengan sanggul berkelok itu mengatakan tidak ada penumpang atas nama Yumi dengan tujuan New York pada pemberangkatan lima menit yang lalu. Kemudian aku meminta untuk mengecek pada jadwal penerbangan yang lain untuk hari ini. Jawabannya sama. Tak ada penumpang atas nama Yumi Choi.
Rasanya nafasku tersendat di tenggorokan. Oksigen serasa tak ingin masuk ke dalam rongga paru-paruku. Kembali aku telah melakukan hal bodoh dan membuang sia-sia kesempatan yang diberikan Tuhan.
Tidak, ini belum berakhir. Jika bukan di sini. Maka kami akan tetap bertemu, di manapun. Meskipun harus di New York.
Aku sudah menghubungi Taemin dan menanyakan alamat keluarga Choi yang di New York. Taemin bilang nanti akan mengirimnya lewat pesan. Aku juga sudah memesan tiket untuk penerbangan sore nanti. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bersiap-siap. Check Out dan membereskan barang-barang yang ada di hotel.
Aku tak tahu apa yang membuatku sampai di sini. Mobilku tiba-tiba berbelok arah yang berlawanan dari hotel yang selama dua hari ini kutempati menjadi ke arah hotel yang di tinggali Yumi.
Petugas yang berjaga di depan nampak melihatku dengan pandangan aneh dan hal itu baru membuatku sadar bahwa aku hanya menggunakan piama dan sandal rumah. Penampilanku pasti berantakan. Rambut acak-acakan, belum gosok gigi apa lagi mencuci wajah.
Aku sama sekali tak peduli dengan penampilanku. Kakiku tetap melangkah menuju kamar nomor 1234 di lantai tujuh. Aku melihat petugas kebersihan keluar dari kamar Yumi. Jadi, gadis itu benar-benar sudah pergi?
Kakiku tiba-tiba saja lemas. Rasanya tak kuat lagi untuk menopang berat tubuhku sendiri hingga merosot ke bawah. Tantai yang berkarpetpun terasa dingin begitu juga dinding di belakang punggungku. Dingin.
Aku mengingat beberapa kata yang di tulis Yumi di akhir novelnya.
“Tidak peduli seberapa terbakarnya hatiku untuknya. Hatinya, akan tetap sedingin es.”
Di lain halaman dia juga menulis, “Akan berbeda jika kami tak pertemu, tak pernah manikah, maka juga tak akan pernah ada cerita menyedihkan ini. Tapi dari pada sakit, hidupku lebih terasa mati.”
Setalah delapan tahun berlalu, setelah rasa sakit yang juga kutanggung sendirian. Apakah rasa sakitmu masih sebesar dulu? Saat nanti kita bertemu, bisakah kau memaafkanku. Maafkahlah suamimu yang bodoh ini. Maafkanlah. Kumohon.
****
Yumi Choi
Kupikir aku bisa mengacuhkannya. Kupikir efeknya tak akan seperti ini. Ini terlalu berlebihan, setelah delapan tahun hidupku terasa baik-baik saja tanpanya. Aku sudah sejak lama tak lagi memikirkan tentangnya. Kupikir otakku juga sudah tak mengenalinya lagi. Aku sudah lupa bagaimana wajahnya, bentuk tubuhnya, warna kulitnya, bahkan suaranya. Semuanya, aku sudah melupakannya hingga titik terluar.
Tidak sebelum aku melihatnya lagi. Tubuhnya yang semakin kurus. Mata sayunya. Ternyata aku masih menyimpan semua tentangnya hingga detail terkecil. Apa yang ia lakukan selama delapan tahun terakhir hingga jadi seperti itu.
Sampai sekarang aku masih bisa merasakan detak jantungku saat pertama kali melihatnya keluar dari gerbang kedatangan. Lengannya yang menarik satu koper hitam kecil tak sekokoh dulu, ototnya sudah hilang entah kemana. Yang kulihat hanya sosok yang begitu rapuh.
Aku bisa menyimpulkan bahwa hidupnya tak sebaik diriku menjalani hari-hari. Aku bahagia, aku merasakan cinta dari orang-orang yang juga kucintai. Aku merasa lengkap, kupikir. Tapi nyatanya, wajahnya menyadarkanku bahwa aku telah kehilangan bagian terpenting dalam hidupku.
Namun, kedatangannya, pertemuan kami kembali. Tak akan merubah apa pun.
“Oppa, apa yang kau lakukan disini?”
***
Jonghyun Oppa mendongak untuk memastikan bahwa yang baru saja didengarnya adalah suaraku.
“Yu Yumi~ya…”
“Jonghyun Oppa apa yang kau lakukan di depan kamar hotelku dengan pakaian seperti itu? Apa kau juga menginap disini?”
“Mi~ya kau masih disini?” air mata masih mengalir di kedua belah pipi Jonghyun Oppa. Aku merasa aku harus mengabaikan itu. Walau sebenarnya air mataku pun ingin mendesak keluar.
“Tidak ya? Oppa kurasa kau perlu masuk ke dalam, sepertinya kau tidak sedang baik-baik saja.”
Mengabaikan perasaanku yang hancur melihatnya seperti ini, aku menuntun Jonghyun Oppa untuk masuk ke dalam kamar hotel. Ini kulakukan semata hanya karena kemanusiaan. Tak ada yang lebih.
Aku mengambil cangkir kemudian menuangkan teh hangat ke dalamnya. Kurasa ia membutuhkan minum.
Aku mengulurkan teh manis itu dan dengan patuh Jonghyun Oppa meminumnya tanpa banyak bicara. Matanya masih memandangku tanpa berkedip. Matanya menyiratkan ketidakpercayaan dan harapan di satu waktu. Tidak, aku tak boleh goyah hanya karena ini.
“Mi~ya, Benar ini kau?”
“Tentu saja Oppa, kau pikir siapa lagi. Apa kau sudah melupakan wajahku?”
“Te tentu saja tidak.”
Aku membiarkan penglihatannya mengikutiku kemanapun. Aku mencoba acuh. Tetap memasukkan barang-barang ke dalam koper. Besok dengan penerbangan di pagi buta aku akan kembali ke New York.
“Kau akan pulang hari ini?”
“Tidak, aku kembali besok.”
Aku seperti terperangkap dengan tatapan matanya yang tak lepas dariku.
“Mi~ya. Ayo pulang ke Korea…”
Tanganku yang ingin memasukkan oleh-oleh untuk Minho tiba-tiba terasa membeku. Kata-katanya begitu ringan terucap. Seperti tak pernah terjadi apa pun. Seperti ia tak pernah melakukan dosa sama sekali. Tidak tau mengapa, tapi tiba-tiba amarah muncul di puncak kepalaku.
“Apa maksudmu Oppa, aku tak memiliki rumah di Korea. Jadi bagaimana mungkin aku pulang kesana.”
“Kumohon Mi~ya. Beri aku kesempatan sekali lagi. Maafkan aku dan kita pulang ke Korea bersama.”
“Aku tak mengerti maksudmu. Kupikir kau memang sedang tak baik-baik saja. Aku akan menelepon taksi untuk mengantarmu kembali ke hotel.”
“Yumi, kumohon. Jangan bersikap seperti kita tak pernah ada hubungan apa pun. Kumohon jangan seperti ini. Jangan menganggap kita tak ada apa-apa.”
“Kau yang menganggap ini tak ada apa-apa. Kau bersikap seperti tak pernah melakukan dosa apa pun.” Nada bicaraku meninggi. Aku kehilangan kontrol diriku. Seharusnya tak seperti ini. “Kau datang dengan tanpa rasa bersalah mengajakku kembali seolah-olah hanya butuh sekian detik untuk menghapus luka yang sudah kau torehkan. Bukankah kau sangat kejam. Ya, kau memang sangat kejam. Dari dulu.”
Jonghyun Oppa bungkam, bibirnya tertarik ke dalam seperti menahan sesuatu.
“Yumi, aku tahu apa yang sudah kulakukan padamu be…”
“Tidak, kau tidak tahu, kalau kau tahu kau tak akan pernah berani memintaku untuk kembali.”
“Dengar Mi~ya…” aku menyentak lengannya yang berusaha menggapai pundakku hingga ia terdorong beberapa langkah ke belakang. Raut frustasi tergambar jelas di wajahnya.
“Aku memang berdosa besar padamu. Aku menyiakanmu dan berujung pada penyesalan selama delapan tahun lebih. Tapi kau harus tahu, seberapa jauhpun kau mencoba lari. Pada akhirnya kau tetap harus pulang padaku.”
“Kenapa kau begitu egois Oppa?”
“Karena meskipun kau menolak, takdir tetap akan berjalan, baik kau sendiri yang menjemputnya atau seseorang yang akan mengantarkannya tepat di depan matamu. Dan kau tahu, aku adalah takdirmu”
“Kau bukan takdirku! Takdir yang kau bilang itu sudah berakhir delapan tahun yang lalu. Sudah mati bersama malaikat yang kau bun…”
Kata-kataku tertelan kembali ke tenggorokan begitu bibir Jonghyun Oppa menempel sempurna menangkup bibirku.
“Kumohon jangan katakan itu. Aku hidup, tapi rasanya mati jika mengingatnya. Jadi kumohon berhenti mengingatkanku tentangnya.”
Air mata kami sama-sama mengalir deras. Disela bibir kami yang masih saling menempel. Kau tahu, aku juga menyesal mengatakan hal keji itu. Malaikatku, seharusnya ia tak harus dibawa dalam pembicaraan omong kosong ini.
Aku mencoba mendorongnya agar menjauh dariku. Tapi telapak tanganku terasa terbakar ketika menyentuh dadanya.
Pada akhirnya aku memang selalu kalah darinya. Pembicaraan ini, tidak benar-benar omong kosong. Aku selalu jatuh padanya.
END